Penyakit Jaringan Keras dan Lunak Pada Gigi

HIPERSENSITIVITAS GIGI
Hipersentivitas gigi, sensitivitas dentin atau hipersensitivitas sering digunakan untuk mendeskripsikan kondisi klinis dari respon berlebihan dari stimulus exogen.
        Stimulus exogen termasuk thermal, taktil, atau perubahan osmotik. Yang mana stimulus ekstrim dapat membuat semua gigi sakit. Kata hipersensitivitas berarti respon sakit pada stimulus tidak normal yang berhubungan dengan nyeri (Garg,2010). Nyeri sering di deskripsikan “sebagai sensori tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sebenarnya atau berpotensi terjadi kerusakan jaringan (Garg,2010)
Hipersensitivitas dentin terjadi karena terbukanya dentin yang pada umumnya disebabkan karena resesi gingiva akibat kesalahan menyikat gigi sehingga terjadi abrasi dan erosi. Pada umumnya terjadi di bagian servikal gigi dengan gejala sakit atau ngilu apabila terjadi kontak dengan rangsangan dari luar seperti panas dingin, dehidrasi (hembusan udara), asam, maupun alat alat kedokteran gigi misalnya sonde, pinset, dan lain-lain. Bagi penderita rasa ngilu itu merupakan suatu gangguan, dimana secara tidak langsung akan menimbulkan masalah lain seperti terganggunya pembersihan gigi dan mulut, sehingga kebersihan mulut kurang sempurna yang akhirnya akan menyebabkan kelainan periodontal. Untuk mencegah terjadinya kelainan lebih lanjut maka hipersensitivitas dentin perlu dirawat.(Prijantijo, 1996).
Reaksi hipersensitifitas pada gigi sering dikaitkan dengan teori hidrodinamik. Teori hidrodinamik pada sensitifitas dentin adalah proses penerusan perpindahan cairan dentin ke tubulus dentin, yang mana merupakan perpindahan ke salah satu arah yaitu ke arah luar (permukaan) atau ke arah dalam (pulpa) dan menstimulasi nervus sensoris pada dentin atau pulpa. Gerakan cairan sangat cepat dan terjadi sebagai respon terhadap perubahan temperatur, tekanan, atau mekanik yang menghasilkan deformasi mekanis pada odontoblas dan saraf di dekatnya (Ingle, 2002) . Teori hidrodinamik menjelaskan reaksi rasa sakit pulpa terhadap panas, dingin, pemotongan dentin, dan probing dentin. Panas mengembangkan cairan dentin, sedang dingin mengerutkan cairan dentin, memotong tubuli dentin memungkinkan cairan dentin keluar, dan melakukan probing pada permukaan dentin yang dipotong atau terbuka dapat merusak bentuk tubuli dan menyebabkan gerakan cairan. Semua rangsangan ini mengakibatkan gerakan cairan dentin dan menggiatkan ujung saraf.(Grossman, 1988).
Pada dasarnya dentin bersifat sensitif karena secara struktural mengandung serabut saraf yang berjalan dalam tubulus dari arah pulpa. Namun kesensitifan ini tidak menimbulkan masalah karena adanya jaringan lain yang melindungi dentin yaitu tubulus, enamel, dan ginggiva. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa tubulus dentin pada pesien dengan dentin hypersensitivity ditemukan lebih banyak dan berkembang dibandingkan dengan orang normal.Hasil ini selaras dengan hipotesis bahwa rasa nyeri dimediasi oleh mekanisme hidrodinamik. (Orchardson and Gillam, 2006).
 
Erosi gigi dapat meningkatkan sensitivitas dari dentin sehingga gigi lebih sensitif saat terpapar rangsangan, terutama rangsangan  suhu.   Keadaan   ini   sering   disebut   hipersensitivitas   dentin   yang   semakin   hari semakin   sering   dijumpai.   Hipersensitivitas   dentin   ini   dapat   diketahui   dari  intensitas   nyeri   yang   dihasilkan.   Semakin   berat   hipersensitivitas   dentin   yang terjadi, semakin berat pula intensitas nyeri yang dihasilkan.(Mitchell, 2004).
Gigi sensitif diakibatkan oleh terbukanya lapisan dentin. Ketika lapisan dentin terbuka, rangsang termal akan mudah terdeteksi, sehingga akan membuat gigi terasa linu ketika makan/ minum dengan suhu yang dingin. Beberapa perawatan gigi ada juga yang mengakhibatkan gigi sensitif. Di antaranya pemutihan gigi, pembersihan karang gigi / skeling, perawatan kawat gigi, dan penambalan gigi (Ardyan, 2010). Penambalan  gigi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat, selain itu menjaga kebersihan mulut tetaplah penting. Gigi yang telah ditambal dan tidak dijaga kebersihannya memungkinkan terjadinya karies sekunder. Karies sekunder ini merupakan karies kompleks yang terbentuk setelah karies primer. Karies sekunder akan berakhibat terbukanya lapisan dentin lebih dalam menuju pulpa, sehingga rangsang termal akan lebih mudah masuk ke ujung saraf di pulpa, akhibatnya sensitifitas gigi akan meningkat. ( David, 2008 ).
 
PULPITIS
        Pulpa adalah organ formatif gigi dan membangung dentin primer selama perkembangan gigi, dentin sekunder setelah erupsi dan dentin reparative sebagai respon terhadap stimulasi selama odontoblas tetpau utuh. Pulpa bereaksi terhadap stimuli panas dan dingin yang hanya dirasakan sebagai rasa skait. Pulpa biasanya tahan terhadap sushu sekitar 16 derajat celcius dan 55 derajat celcius yang dikenakan secara langsung pada daerah superfisial. Rasa sakit merupakan suatu reaksi protektif yang menjadi tanda bahwa terjadi suatu peradangan atau kerusakan pada pulpa. Apabila terjadi kerusakan pada pulpa sangat kecil kemungkinan untuk kembali seperti semula. Semua ini tergantung pada aktivitas seluler, suplai nutrisi, usia, metabolik dan parameter fisiologis yang lainnya.
        Etiologi yang sering didapatkan pada kerusakan yang terjadi pada pulpa adalah fisis (mekanis ,thermal, listrik, dan radiasi), kimiawi (asam fosfat, monomer akriik, erosi akibat asam) dan bacterial (toksin yang diproduksi oleh bakteri, invasi bakterial secara langsung kedalam pulpa, dan kolonisasi microbial didalam pulpa).
        Pupitis adalah keadaan dimana daerah pulpa mengalami inflamasi akut maupun kronis, sebgian atau seluruhnya dan dapa pula dalam keadaan terinfeksi atau streril. Dua jenis inflamasi pulpa yaitu kronis dan akut :
1.     pulpitis kronis berasal dari pulpa yang terbuka akibat karies atau trauma.
2.     pulpitis akut umunya mengalami rasa sakit yang cepat, sebentar.
Pulpitis itu sendiri ada yang bersifat reversible dan ireversibel. Pulpitis reversible adalah suatu kondisi inflamasi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh stimulus noksius, tetapi kemampuan pulpa untuk kembali seperti semula memiliki kemungkinan yang masih besar dan rasa sakit akan hilang bila stimulus dihilangkan. Rasa sakit yang berlangsung sebentar dapat diakibatkan oleh stimulus thermal, trauma maupun stimulus kimiawi. Pulpitis reversible simtomatik ditandain dengan rasa sakit yang tajam, hanya sebentar, lebih sering diakibatkan oleh suhu dingin daripada panas atau oleh udara dingin. Tidak timbul secara spontan dan tidak berlanjut jika etiologi dihilangkan. Perbedaan dengan pulpitis ireversibel adalah dimana pada pulpitis ireversibel rasa sakit yang terjadi biasanya lebih parah dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, tetap erasa sakit meskipun etiologi telah dihilangkan  dan sering disertai dengan rasa sakit yang spontan. Pulpitis ireversibel biasanya disertain dengan keadaan pulpa yang infeksi.
        Perawatan terbaik untuk pulpitis reversible adalah pencegahan. Perawatan periodik untuk mencegah perkembangan karies, penumpatan awal bila kavitas meluas. Tes vitalitas merupakan suatu hal yang penting untuk memastikan terdapat suatu keadaan nekrosis pada sekitar daerah pulpa atau jaringan sekitarnya. Namun dalam penanganan inflamasi hendaknya dianggap sebagai pulpitis ireversibel.
        Prognosis untuk untuk pulpa adalah baik jika etiologi dihilangkan sedini mungkin. Hal ini berguna untuk mencegah terjadiya perluasan kearah pulpitis ireversibel yang semakin parah
(Grossman, et al., 1988)
 
RESTORASI
        Pada kasus yang dialami pasien, pasien ingin ditambal sewarna gigi. Hal ini bisa diatasi dengan komposit. Komposit kini telah digunakan dalam restorasi dan dalam memperoleh estetik yang baik, yang sebelumnya menggunakan amalgam (Horsted, et.al. 1999). Sebelum kita melakukan suatu penumpatan alangkah baiknya kita menetukan klasifikasi dari kavitas yang aka kita tumpat tersebut. Adapun klasifikasi kavitas Menurut Black, lesi karies diklasifikasikan menjadi:
–         Kelas I: mengenai pits dan/atau fissure serta berhubungan dengan lesi karies
–        Kelas II: mengenai permukaan proksimal gigi posterior
–        Kelas III: mengenai permukaan proksimal gigi anterior
–       Kelas IV: mengenai permukaan proksimal gigi anterior dan melibatkan sudut incisal
–       Kelas V: mengenai permukaan servikal
(Qualtrough et al, 2005)
RESIN KOMPOSIT
Generasi resin komposit yang kini beredar mulai dikenal di akhir tahun enam puluhan. Sejak itu, bahan tersebut merupakan bahan restorasi anterior yang banyak dipakai karena pemakaiannya gampang, warnanya baik, dan mempunyai sifat fisik yang lebih baik dibandingkan dengan bahan tumpatan lain. Sejak akhir tahun enam puluhan tersebut, perubahan komposisi dan pengembangan formulasi kimianya relatif sedikit.Bahan yang terlebih dulu diciptakan adalah bahan yang sifatnya autopolimerisasi (swapolimer), sedangkan bahan yang lebih baru adalah bahan yang polimerisasinya dibantu dengan sinar. Resin komposit mempunyai derajat translusensi yang tinggi. Warnanya tergantung pada macam serta ukuran pasi dan pewarna yang dipilih oleh pabrik pembuatnya, mengingat resin itu sendiri sebenarnya transparan. Dalam jangka panjang, warna restorasi resin komposit dapat bertahan cukup baik. Biokompabilitas resin komposit kurang baik jika dibandingkan dengan bahan restorasi semen glass ionomer, karena resin komposit merupakan bahan yang iritan terhadap pulpa jika pulpa tidak dilindungi oleh bahan pelapik. Agar pulpa terhindar dari kerusakan, dinding dentin harus dilapisi oleh semen pelapik yang sesuai, sedangkan teknik etsa untuk memperoleh bonding mekanis hanya dilakukan di email perifer.
·      Indikasi restorasi komposit :
Resin komposit dapat digunakan pada sebagian besar aplikasi klinis. Secara umum, resin komposit digunakan untuk:
a.   Restorasi kelas I, II, III, IV, V dan VI
b.   Fondasi atau core buildups
c.   Sealant dan restorasi komposit konservatif (restorasi resin preventif)
d.     Prosedur estetis tambahan
1.     Partial veneers
2.     Full veneers
3.     Modifikasi kontur gigi
4.     Penutupan/perapatan diastema
e.  Semen (untuk restorasi tidak langsung).
f.  Restorasi sementara
g.  Periodontal splinting
            Restorasi kavitas klas I komposit, The American Dental Association(ADA) mengindikasikan kelayakan resin komposit untuk digunakan sebagai pit dan fissure sealant, resin preventif, lesi awal kelas I dan II yang menggunakan modifikasi preparasi gigi konservatif, restorasi kelas I dan II yang berukuran sedang, restorasi kelas V, restorasi pada tempat-tempat yang memerlukan estetika, dan restorasi pada pasien yang alergi atau sensitif terhadap logam.
        ADA tidak mendukung penggunaan komposit pada gigi dengan tekanan oklusal yang besar, tempat atau area yang tidak dapat diisolasi, atau pasien yang alergi atau sensitif terhadap material komposit. Jika komposit digunakan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ADA menyatakan bahwa “ketika digunakan dengan benar pada gigi-geligi desidui dan permanen, resin berbahan dasar komposit dapat bertahan seumur hidup sama seperti restorasi amalgam kelas I, II, dan V. ́
·      Komponen resin komposit :
1.     Komponen resin organik
: filler anorganik
2.     Coupling agent untuk menggabungkan resin dan filler
3.     Inisiator dan aktivator untuk mengaktifkan mekanisme setting
4.     Inhibitor
Pigmen dan komponen lainnya
·      Keuntungan penggunaan resin komposit :

1.     Penghubung dengan sistem adesive dentin, dapat ditempatkan dengan minimal atau tanpa preparasi gigi.
2.     Light curing memungkinkan segera dilakukan finishing dan polishing setelah pengisian kavitas (Sherwood, 2010).
3.     Restorasi, jika diletakkan secara tepat pada gigi yang dimaksud maka akan mengurangi marginal linkage yang dapat menyebabkan staining, karies sekunder, dan gigi sensitif.
4.     Operator dapat melakukan refinish, memperbaharui atau merestorasi tambalan tersebut.
Hasilnya lebih konservative dan perawatannya sedikit mungkin menghilangkan bagian gigi.
·      Kerugian penggunaan resin komposit :
1.     Polimerisasi shringkage 2-3% dapat mengganggu marginal adaptasi dari material, fraktur pada tonjol yang lemah terutama pada premolar, dan menghasilkan post-operative sensitivity.
2.     Bonding ke dentin menjadi suatu masalah, terutama pada tepi preparasi, contoh : lantai dibawah box ketika lantai dibawah cemento-enamel junction(CEJ) di preparasi proximal.
3.     Absorbsi air pada permukaan dan marginal staining setelah beberapa tahun perawatan
4.     Sensitivitas pasien dan operator terhadap bahan adesive resin terutama hydroxyethylmethacrylate (HEMA).
5.     Kurang radiopak dibandingkan amalgam pada interpretasi radiografi sehingga sedikit menyulitkan dalam pemeriksaan.
 
·      Indikasi penggunaan resin komposit :
1.     Kecil, medium, besar restorasi oklusal pada gigi posterior
2.     Kecil, medium, besar pada restorasi proximal pada gigi premolar dan kecil sampai sedang pada preparasi proximal gigi molar permanen.
3.     Lesi cervikal pada semua gigi
4.     Restorasi incisal edge
5.     Fissure sealant dan preventive restorasi resi 
·      Kontraindikasi penggunaan resin komposit
1.     Preparasi proximal yang besar pada gigi molar permanen yang ada tuntutan perbaikan tonjol.
2.     Restorasi lesi karies akar yang lebih baik menggunakan semen ionomer kaca .
3.     Pada pasien yang mempunyai alergi pada satu atau lebih komponen resin-base-restorative-material termasuk adesive sistem.
4.     Kavitas interproxinal yang sangat dalam sehingga sinar tidak dapat mengjangkau.
(Ireland, 2006)
Keluhan pasien yang lain yaitu sisa makanan masih sering terselip di gigi yang ditambal dengan amalgam, ini berarti tambalan dengan amalgam tersebut tidak bagus, dan tidak benar-benar merestorasi karies yang terdapat pada gigi pasien. Hal ini bisa diatasi dengan menumpat lubang-lubang di sela-sela gigi dengan komposit dengan prosedur yang tepat sehingga kejadian seperti tumpatan amalgam yang lalu tidak terjadi lagi. Teknik komposit posterior jauh lebih memerlukan ketepatan teknis dibandingkan restorasi amalgam dan untuk menyelesaikan restorasinya memerlukan waktu lebih banyak (Horsted, et.al. 1999). Material restorasi ini juga bertahan lama, sehingga cenderung memberikan kerapatan yang paling baik (Walton, 2008).
 
KARIES SEKUNDER
Karies sekunder adalah lesi pada tepi restorasi yang telah ada sebelumnya. Pemeriksaan histologis menunjukan suatu demineralisasi jaringan sepanjang dinding kavitas. Karies sekunder berbeda dengan 3 wall lesions ́ dan merupakan hasil dari suatu microleakage. Dan juga berbeda dengan residual karies yang merupakan sisa jaringan terdemineralisasi yang tertinggal saat preparasi kavitas. Karies sekunder muncul pada area penumpukan plak. Karena alasan inilah, batas cervical dari tambalan yang umumnya terkena (Edwina, 2001).
·      Mekanisme terjadinya karies sekunder
1.     Proses terjadinya karies Menurut Teori Kimia parasit (WD. Miller)
Enzim dalam air ludah seperti amilase, maltose akan mengubah polisakarida menjadi glukose dan maltose. Glukosa akan menguraikan enzim-enzim yang dikeluarlan oleh mikroorganisme terutama laktobasilus dan streptokokus akan menghasilkan asam susu dan asam laktat, maka pH rendah dari asam susu (pH 5,5) akan merusak bahan-bahan anorganik dari email (93 %) sehingga terbentuk lubang kecil (Yuwono, 1993). Predisposisi untuk terjadinya karies gigi yaitu Keadaan gigi yang porus, lunak (Hipoplasia), adanya fisur-fisur yang dalam seperti foramen saekum, posisi gigi yang tidak teratur, pada wanita hamil, penderita penyakit Diabetus militus, rematik dan lain lain
2. Teori endogen-pulpogene phospatase (Csernyei, 1932).
·      Penyebab-penyebab karies sekunder          
Kegagalan restorasi resin komposit yang menyebabkan kebocoran dari resin komposit, dikarenakan:
1.     Perbedaan masing-masing koefisien thermal ekspansi diantara resin komposit, dentin, dan enamel.
2.     Penggunaan oklusi dan pengunyahan yang normal .
3.     Kesulitan karena adanya kelembaban, mikroflora yang ada, lingkungan mulut bersifat asam.
(Hermina, 2003)
4.     Adanya mikroleakage, yang merupakan suatu celah berukuran mikro antara bahan restorasi dengan struktur gigi, sehingga margin restorasi terbuka serta (Yuwono, 1990).
5.     Adaptasi yang buruk, yang menyebabkan masuknya cairan oral, bakteri maupun toksinnya sehingga menyebabkan karies sekunder (Sularsih, 2007).
 
·      Tindakan restoratif yang bisa dilakukan pada karies sekunder
Diagnosis dari sekunder karies merujuk pada penempatan kembali dari restorasi. Diagnosis dan perawatan harus mengikuti prosedur yang sama seperti lesi karies primer yaitu dengan replacement seluruh restorasi (Mjor,2006).
PEMERIKSAAN OBJEKTIF
·      Tes sondasi dilakukan dengan menggunakan ujung sonde yang tajam dengan menggoreskan di dasar kavitas. Bila terjadi perforasi pulpa biasanya pasien akan kesakitan
·      Tes perkusi dilakukan dengan mengetuk pelan permukaan oklusal atau incisal darigigi yang diduga mengalami karies Dan gigi di sebelahnya menggunakan ujung tangkai kaca mulut untuk mendeteksi adanya nyeri.
·      Tes palpasi dilakukan dengan meraba jari telunjuk sepanjang mukosa fasial dan lingual di atas region apical gigi. Nyeri pada saat palpasi bisa saja menunjukan adanya suatu abses pada tulang alveolar stadium lanjut atau penyakit periapikal lainnya. Palpasi juga dapat menunjukan pembengkakan yang tidak disertai nyeri.
 
(Roberson, 2002)
GANGREN PULPA
Gangren Pulpa adalah keadaan gigi dimana jarigan pulpa sudah mati sebagai sistem pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan sehingga jumlah sel pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati sebagian besar ruang pulpa. Sel-sel pulpa yang rusak tersebut akan mati dan menjadi antigen sel-selsebagian besar pulpa yang masih hidup. Proses terjadinya gangren pulpa diawali oleh proses karies. Karies dentis adalah suatu penghancuran struktur gigi (email, dentindan sementum) oleh aktivitas sel jasad renik (mikro-organisme) dalam dental plak.
Jadi proses karies hanya dapat terbentuk apabila terdapat faktor yang salingtumpang tindih. Adapun faktor-faktor tersebut adalah bakteri, karbohidrat makanan, kerentanan permukaan gigi serta waktu. Perjalanan gangrene pulpa dimulai dengan adanya karies yang mengenai email (karies superfisialis), dimana terdapat lubangdangkal, tidak lebih dari 1mm. Selanjutnya proses berlanjut menjadi karies pada dentin (karies media) yang disertai dengan rasa nyeri yang spontan pada saat pulpa terangsang oleh suhu dingin atau makanan yang manis dan segera hilang jika rangsangan dihilangkan. Karies dentin kemudian berlanjut menjadi karies pada pulpa yang didiagnosa sebagai pulpitis. Pada pulpitis terdapat lubang lebih dari 1mm. pada pulpitis terjadi peradangan kamar pulpa yang berisi saraf, pembuluh darah, dan pempuluh limfe, sehingga timbul rasa nyeri yang hebat, jika proses karies berlanjut dan mencapai bagian yang lebih dalam (karies profunda). Maka akan menyebabkan terjadinya gangren pulpa yang ditandai dengan perubahan warna gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, dan pada lubang perforasi tersebut tercium bau busuk akibat dari proses pembusukan dari toksin kuman.
Gejala klinik 
Gejala yang didapat dari pulpa yang gangren bisa terjadi tanpa keluhan sakit, dalam keadaan demikian terjadi perubahan warna gigi, dimana gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan Pada gangrene pulpa dapat disebut juga gigi non vital dimana pada gigi tersebut sudah tidak memberikan reaksi pada cavity test (tes dengan panas atau dingin) dan pada lubang perforasi tercium bau busuk, gigi tersebut baru akan memberikan rasa sakit apabila penderita minum atau makan benda yang panas yang menyebabkan pemuaian gas dalam rongga pulpa tersebut yang menekan ujung saraf akar gigi sebelahnya yang masih vital.
Tindakan yang dilakukan pada gangrene pulpa yaitu ekstraksi pada gigi yang sakit, karena pada kondisi ini gigi akan menjadi non-vital (gigi mati) sehingga akan menjadi sumber infeksi (fokal infeksi).
 
BAB IV
PEMBAHASAN
 
I.               PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
Mengacu pada kasus dan teori yang telah diuraikan, diagnose awal yang merupakan hasil pemeriksaan subjektif adalah pulpitis reversible. Dimana pasien yang datang mengalami gejala nyeri apabila terdapat rangsangan suhu rendah atau dingin, tidak nyeri spontan, terdapat lesi karies disekitar tumpatan. Seperti apa yang telah diterangkan dalam teori, hipersensitifitas pasien terjadi akibat adanya keadaan dentin yang terbuka, sehingga pasien sangat sensitif apabila diberikan suatu stimulus yang ekstrim (Prijantijo, 1996). Keadaan ini bila dihubungkan dengan kasus akibat terjadinya karies yang pada saat ini pasien telah mengalami restorasi kavitas yang disertai dengan lesi karies sekunder disekitar daerah restorasi. Rasa sakit yang dialami pasien bukan merupakan rasa sakit yang spontan kedaan ini dapat dikaitkan dengan keadaan pulpitis reversible dimana gejala klinis pasien yang mengalami pulpitis reversible adalah ditandai dengan rasa sakit yang tajam, hanya sebentar, lebih sering diakibatkan oleh suhu dingin daripada panas atau oleh udara dingin. Tidak timbul secara spontan dan tidak berlanjut jika etiologi dihilangkan (Grossman, et al., 1988).
Pasien ingin dilakukan restorasi ulang, dengan menggunakan bahan restorasi yang sewarna dengan gigi asli. Dalam hal ini bahan retorasi dapat menggunakan resin komposit. Karena warna dari resin komposit seperti yang telah diuraikan dalam teori bahwa komposit kini telah digunakan dalam restorasi dan dalam memperoleh estetik yang baik, yang sebelumnya menggunakan amalgam. (Horsted, et.al. 1999).
Namun diagnosis terhadap pasien dapat dipastikan setelah melakukan pemeriksaan secara objektif.
 
II.             PEMERIKSAAN OBJEKTIF
 
A.   Gigi Molar 1 atas kiri
Untuk mengetahui kondisi jaringan di sekitar gigi, dilakukan uji sondasi, perkusi, dan palpasi.
Tes perkusi dilakukan dengan mengetuk pelan permukaan oklusal atau incisal dari gigi yang diduga mengalami karies dan gigi di sebelahnya menggunakan ujung tangkai kaca mulut untuk mendeteksi adanya nyeri.
Pada uji perkusi dan palpasi pada gigi ini menunjukkan hasil yang negatif (-) karena pasien tidak merasakan nyeri saat dilakukan perkusi dan palpasi, kemungkinan pasien tidak mengalami inflamasi periodontal maupun abses pada tulang alveolarnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa jaringan pendukung gigi masih sehat. Untuk mengetahui vitalitas gigi, dilakukan uji vitalitas dengan CE. Stimulus dingin dilakukan dengan membasahi kapas dengan ethyl chloride dan diaplikasikan pada gigi.
Jika terdapat respon positif, maka dapat diasumsikan bahwa suplai saraf masih utuh. Kadang-kadang gigi non-vital dapat memberikan respon positif. Hal ini kemungkinan disebabkan stimulus mengalir melalui dentin ke membran periodontal. Akan tetapi, respon ini biasanya lambat sedangkan respon gigi yang masih vital lebih cepat (Kidd et al, 2003). Akan tetapi uji vitalitas negatif.  Dari uraian di atas dijelaskan bahwa gigi yang memberi respon negatif nyeri sesaat, gigi tersebut kemungkinan sudah hampir tidak memperoleh suplai saraf.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gigi kemungkinan sudah tidak vital karena nekrosis pulpa yang ditunjukkan dengan uji CE negatif walaupun nyeri sesaat.
B.             Gigi Premolar 2 atas kiri
Karies yang terjadi sudah mencapai dentin, akan tetapi kemungkinan karies yang terjadi belum terlalu parah, karies yang terjadi baru memasuki tahap awal karies dentin dikarenakan tes pemeriksaan sondasi, perkusi, palpasi masih negatif. Tetapi,  karies yang telah mencapai dentin bisa saja sensitive terhadap rangsangan panas, dingin, asam atau manis. Untuk mengetahui vitalitas gigi tersebut bisa dilakukan test dengan menggunakan CE. Stimulus dingin dilakukan dengan membasahi kapas dengan ethyl chloride dan diaplikasikan pada gigi. Apabila responnya positif (+) dapat diasumsikan bahwa suplai saraf masih utuh. Kadang – kadang gigi non vital dapat memberikan respon positif hal ini kemungkinan disebabkan stimulus mengalir melalui dentin ke membrane periodontal. Akan tetapi, respon ini biasanya lambat sedangkan respon gigi yang masih vital lebih cepat.
(Kidd et al, 2003)
1.   Kavitas di distal, kedalaman dentin
ü  Menentukan kelas kavitas
Pada gigi premolar kedua rahang atas kiri terdapat kavitas di bagian distal dengan kedalaman sampai dentin.Berdasarkan klasifikasi Black, maka karies yang dialami pasien dapatdigolongkan dalam kelas II.
ü  Menentukan tipe perawatan restoratif yang bisa diberikan
Tipe perawatan restoratif yang diberikan bisa dengan bahan tumpatan komposit karena tumpatan dengan bahan komposit memiliki warna yang mirip dengan gigi sehingga pasien mendapatkan kepuasan baik dari segi kuratif maupun estetik. Selain itu, tumpatan pada kavitas dibagian distal menanggung beban oklusi yang tinggi dan resin komposit adalah salah satu bahan tumpatan yang memiliki tekanan kompresi yang tinggi.
ü  Menentukan bagaimana tahapan melakukan perawatan restoratif tersebut (alat, bahan, dan langkah-langkah)
a.     Pembuatan ragangan restorasi yang diinginkan.
b.     Pertimbangan resistensi dan retensi.
c.     Pembuangan karies dentin dan penempatan restorasi.
d.     Penyingkiran karies dentin
e.     MenghaluskanTepi preparasi.
ü  Alat-alat yang digunakan untuk perawatan :
o   Rubber Dam : untuk mengisolasi gigi caries
o   Bur kecil : untuk membuka akses ke jaringan karies pada sisi mesial
o   Round Steel bur : membersihkan jaringan karies
o   Cervical Margin trimmer : untuk membuat dinding enamel
o   Matrix retainer & Matrix band : untuk mengarahkan bentuk restorasi
Untuk mengetahui kondisi jaringan di sekitar gigi, dilakukan uji sondasi, perkusi, dan palpasi. Tes perkusi dilakukan dengan mengetuk pelan permukaan oklusal atau incisal dari gigi yang diduga mengalami karies dan gigi di sebelahnya menggunakan ujung tangkai kaca mulut untuk mendeteksi adanya nyeri. Nyeri pada tes perkusi menunjukkan kemungkinan luka sampai membran periodontal dari pulpa atau disebut juga inflamasi. Sedangkan palpasi dilakukan dengan meraba jari telunjuk sepanjang mukosa fasial dan lingual di atas regio apikal gigi. Suatu abses pada tulang alveolar stadium lanjut atau penyakit periapikal lainnya dapat menyebabkan nyeri terhadap palpasi. Palpasi juga dapat menunjukkan pembengkakan yang tidak disertai nyeri (Roberson, 2002). Uji sondasi, perkusi, dan palpasi pada gigi ini menunjukkan hasil yang negatif, karena pasien tidak merasakan nyeri saat dilakukan perkusi dan palpasi, kemungkinan pasien tidak mengalami inflamasi periodontal maupun abses pada tulang alveolarnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa jaringan pendukung gigi masih sehat.
Untuk mengetahui vitalitas gigi, dilakukan uji vitalitas dengan CE. Stimulus dingin dilakukan dengan membasahi kapas dengan ethyl chloride dan diaplikasikan pada gigi. Jika terdapat respon positif, maka dapat diasumsikan bahwa suplai saraf masih utuh. Kadang-kadang gigi non-vital dapat memberikan respon positif. Hal ini kemungkinan disebabkan stimulus mengalir melalui dentin ke membran periodontal. Akan tetapi, respon ini biasanya lambat sedangkan respon gigi yang masih vital lebih cepat (Kidd et al, 2003). Pada uji vitalitas ini diperoleh hasil positif.
Dari uraian di atas dijelaskan bahwa gigi yang memberi respon positif, gigi tersebut masih memperolah suplai saraf. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gigi ini masih vital.
2.   Tindakan yang perlu dilakukan pada kasus 2B:
Dilakukan proses pembuangan jaringan karies dengan mempertimbangkan retensi dan resistensi, Dilakukan penumpatan pada bagian gigi yang jaringan karies nya telah dibuang, dilakukan penghalusan pada tepi preparasi.
 
C.             Gigi Molar 2 atas kiri
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan objektif (ekstraoral dan intraoral)
Berdasarkan pemeriksaan klinis, secara objektif didapatkan :
ü  Karies profunda (+)
ü  Pemeriksaan sonde (-) dengan menggunakan sonde mulut, lalu ditusukkan beberapa kali ke dalam karies, hasilnya negatif. Pasien tidak merasakan sakit.
ü  Pemeriksaan perkusi (-) dengan menggunakan ujung sonde mulut yang bulat,diketuk-ketuk kedalam gigi yang sakit, hasilnya (-).pasien tidak merasakan sakit.
ü  Pemeriksaan penciuman, dengan menggunakan pinset, ambil kapas lalusentuhkan pada gigi yang sakit kemudian cium kapasnya, hasilnya (+) akan tercium bau busuk dari mulut pasien.
ü  Pemeriksaan foto rontgen, terlihat suatu karies yang besar dan dalam, dan terlihat juga rongga pulpa yang telah terbuka dan jaringan periodontium memperlihatkan penebalan.
·      Kavitas di proksimal, kedalaman dentin
ü  Menentukan kelas kavitas
Pada gigi premolar kedua rahang atas kiri terdapat kavitas di bagian distal dengan kedalaman sampai dentin.Berdasarkan klasifikasi Black, maka karies yang dialami pasien dapatdigolongkan dalam kelas II.
ü  Menentukan tipe perawatan restoratif yang bisa diberikan
Tipe perawatan restoratif yang diberikan bisa dengan bahan tumpatan komposit karena tumpatan dengan bahan komposit memiliki warna yang mirip dengan gigi sehingga pasien mendapatkan kepuasan baik dari segi kuratif maupun estetik. Selain itu, tumpatan pada kavitas dibagian distal menanggung beban oklusi yang tinggi dan resin komposit adalah salah satu bahan tumpatan yang memiliki tekanan kompresi yang tinggi.
ü  Menentukan bagaimana tahapan melakukan perawatan restoratif tersebut (alat, bahan, dan langkah-langkah)
f.      Pembuatan ragangan restorasi yang diinginkan.
g.     Pertimbangan resistensi dan retensi.
h.     Pembuangan karies dentin dan penempatan restorasi.
i.      Penyingkiran karies dentin
j.      MenghaluskanTepi preparasi.
ü  Alat-alat yang digunakan untuk perawatan :
o   Rubber Dam : untuk mengisolasi gigi caries
o   Bur kecil : untuk membuka akses ke jaringan karies pada sisi mesial
o   Round Steel bur : membersihkan jaringan karies
o   Cervical Margin trimmer : untuk membuat dinding enamel
o   Matrix retainer & Matrix band : untuk mengarahkan bentuk restorasi
Untuk mengetahui kondisi jaringan di sekitar gigi, dilakukan uji sondai, perkusi, dan palpasi. Tes perkusi dilakukan dengan mengetuk pelan permukaan oklusal atau incisal dari gigi yang diduga mengalami karies dan gigi di sebelahnya menggunakan ujung tangkai kaca mulut untuk mendeteksi adanya nyeri. Nyeri pada tes perkusi menunjukkan kemungkinan luka sampai membran periodontal dari pulpa atau disebut juga inflamasi. Sedangkan palpasi dilakukan dengan meraba jari telunjuk sepanjang mukosa fasial dan lingual di atas regio apikal gigi. Suatu abses pada tulang alveolar stadium lanjut atau penyakit periapikal lainnya dapat menyebabkan nyeri terhadap palpasi. Palpasi juga dapat menunjukkan pembengkakan yang tidak disertai nyeri (Roberson, 2002). Uji sondasi, perkusi, dan palpasi pada gigi ini menunjukkan hasil yang negatif, karena pasien tidak merasakan nyeri saat dilakukan perkusi dan palpasi, kemungkinan pasien tidak mengalami inflamasi periodontal maupun abses pada tulang alveolarnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa jaringan pendukung gigi masih sehat.
Untuk mengetahui vitalitas gigi, dilakukan uji vitalitas dengan CE. Stimulus dingin dilakukan dengan membasahi kapas dengan ethyl chloride dan diaplikasikan pada gigi. Jika terdapat respon positif, maka dapat diasumsikan bahwa suplai saraf masih utuh. Kadang-kadang gigi non-vital dapat memberikan respon positif. Hal ini kemungkinan disebabkan stimulus mengalir melalui dentin ke membran periodontal. Akan tetapi, respon ini biasanya lambat sedangkan respon gigi yang masih vital lebih cepat (Kidd et al, 2003). Pada uji vitalitas ini diperoleh hasil positif.
Dari uraian di atas dijelaskan bahwa gigi yang memberi respon positif, gigi tersebut masih memperolah suplai saraf. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gigi ini masih vital.
·      Tindakan yang perlu dilakukan pada kasus 2C:
Dilakukan proses pembuangan jaringan karies dengan mempertimbangkan retensi dan resistensi, Dilakukan penumpatan pada bagian gigi yang jaringan karies nya telah dibuang, dilakukan penghalusan pada tepi preparasi.
·             Differential diagnosis Periodontitis merupakan komplikasi dari karies profunda non vitalis atau gangren pulpa, dimana pada pemeriksaan klinis ditemukan gigi non vital, sondase (-), dan perkusi (+).
 
BAB V
KESIMPULAN
 
Berdasarkan pada kasus, teori dan pembahasan yang telah disampaikan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa :
1.              Hipotesis awal berdasar hasil pemeriksaan subjektif, pasien megalami pulpitis reversible.
2.             Bahan restorasi yang dapat digunakan sesuai dengan keinginan pasien adalah resin kompisit.
3.             Diagnosia dapat sangat dipastikan setelah melihat hasil pemeriksaan objektif.
4.             Diagnosis dapat ditentukan dengen mempertimbangkan keseluruhan hasil pemeriksaan objektif berupa tes sondasi, perkusi, palpasi, dan CE. Selain itu juga pemeriksaan subjektif turut dipertimbangkan hingga dihasilkan diagnosis final mengenai kondisi pasien
5.             Pemeriksaan objektif pada gigi Molar 1 atas kiri menunjukkan gigi mengalami nekrosis pulpa dan non vital; gigi premolar 2 atas kiri menunjukkan gigi mengalami karies media dan gigi vital; gigi molar 2 atas kiri menunjukkan gigi mengalami karies media dan gigi masih vital. Ketiganya bisa direstorasi dengan tumpatan jenis komposit 
 
 DAFTAR PUSTAKA
 
Ardyan, G.R. 2010. Serba Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut.Jakarta: redaksi Bukune.
David, P. C. 2008.Prevention in Clinical Oral Health Care.Missiori: Mosby
Edwina, A.M., 2001.,Diagnosis of Secondary Caries., Journal of Dental Education 65(10): 997- 1000
        Elsevier.
Garg, Nisha, Amit Garg. 2010. Textbook of Endodontics. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.
Grossman, Louis I, et al.1988.Edodontic Practice eleventh edition. Philadelphia: Pennsylvania, U.S.A
Hermina, M.T. 2003. Perbaikan Restorasi Resin Komposit Klas I. Sumatera Utara: USU Digital Library.
Ingle, J.I. & Leif K.B., 2002, Endodontics, 5th ed. Canada: BC Decker Inc.
Ireland, Robert. 2006. Dental Hygiene and Therapy. USA : Blackwell
Kidd, E.A.M., Smith, B.G.N.,Watson,T.F., 2003,  Pickards Manual of  Operative Dentistry,8thedition, Oxford University Press,New York
Lamlanto, Nurhaida. 2010. Prosedur Menegakkan Diagnosis dalam Praktik Kedokteran Gigi Anak. Makassar : Bagian Kedokteran Gigi Anak Universitas
Mitchell, S. 2004. Dental  Hygiene : Concepts, Cases, and The Competencies.
Mjor, I.A. 2006. Secondary/Recurrent Caries. US Dentistry.
Munksgaard.Kidd, Adwina A M. 2003. Pickard¶s Manual of Operative Dentistry, Eighth edition. New York : Oxford University Press.
        New York: Mosby.
Orchardson, Robin and Gillam, David G. 2006. Managing Dentin Hypersensitivity. Journal of AmDent Associate. Vol 137, No 7, pp: 990-998.
Prben Horsted, Laszlo Magos, Palle Holmstrup, Dorthe Arenholt-Bindslev. 1999.Tambalan Amalgam Berbahaya Untuk Kesehatan? (Alih Bahasa: drg. Narlan Sumawinata, SpKG). Jakarta: EGC.
Prijantijo. 1996. Evaluasi Klinis Perawatan Hipersensitivitas Dentin dengan Potasium Nitrat. Jurnal Cermin Dunia Kedoktera. No. 109. pp 57-61.
Qualtrough, A.J.E., Satterthwaite, J.D., Morrow, L.A., Brunton, P.A., 2005, Principles of Operative Dentistry. Great Britain:Blackwell Munksgaard.
Roberson,T.M, Heymann, H.O., Swift, E.J., 2002, S  tudervants Art & S  cience of  Operative Dentistry, 4th edition, Mosby Inc., St. Louis
Sherwood, Anand. 2010. Essentials of Operative Dentistry. New Delhi: Jaypee brothers Medical Publishers.
Walton, Richard E. 2008. Prinsip dan Praktik Ilmu Endondonsia, edisi 3 (Alih Bahasa: drg. Narlan Sumawinata, SpKG). Jakarta: EGC.
 

Perbandingan CBCT dan Radiografi Konvensional Dalam Deteksi Kasus Gigi Supernumerari

BAB I
PENDAHULUAN
      Dalam dunia kedokteran gigi seringkali ditemukan adanya kelainan pada gigi dan rongga  mulutsalah satu dari banyak kelainan tersebut adalah insidensi gigi supernumerary atau keberadaan jumlah gigi yang melebihi jumlah normal. Namun, secara klinis adanya gigi supernumerary sering ditemukan dalam keadaan tidak bererupsi atau impaksi. Dengan keadaan seperti ini, seorang dokter gigi akan kesulitan dalam melakukan diagnose kasus gigi supernumerari dalam keadaan impaksi jika hanya mengandalkan pemeriksaan secara objektif saja. Untuk mendeteksi adanya kelainan tersebut lebih lanjut, pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk kepentingan diagnose dan untuk mengetahui kondisi gigi dan jaringan sekitarnya yang lebih spesifik. Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan adalah pemeriksaan dengan menggunakan gambaran radiografi.
      Radiografi dalam kedokteran gigi telah sering digunakan untuk mendukung penentuan diagnose dari suatu penyakit atau kelainan. Umumnya radiografi yang sering digunakan adalah jenis radiografi konvensional. Pemilihan ini berdasarkan atas penggunaan mesin radiografi yang mudah dan juga harga yang realif murah sehingga radiografi konvensional sering dijadikan sebagai pemeriksaan penunjang. Namun, walaupun memiliki kuntungan seperti apa yang telah disampaikan, radiografi konvensional ini memiliki beberapa kekurangan dimana kekurangan tersebut dapat mempengaruhi akurasi dari keadaan onjek yang sebenarnya sehingga dapat mempengaruhi suatu tetapan diagnose.
      Pada saat ini, telah berkembang suatu teknik pencitraan 3-dimensi yang berbasis computasi yaitu cone-beam computed tomograph (CBCT). Hasil pencitraan yang dihasilkan berbetuk suatu gambaran 3-dimensi.
      Dalam makalah ini kami akan menerangkan kajian dari jurnal yang didapatkapn denga satu jurnal utama yang berjudul “Three-dimensional evaluation of supernumerary teeth using cone-beam computed tomography for 487 cases” dan dua jurnal pendukung lainnya dengan judul “ Reliability of panoramic radiographs for identifying supernumerary teeth in children” dan “supernumerary teeth in indian children: A survey of 300 case”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Gigi Supernumerari
Gigi supernumerari adalah anomali dimana jumlah gigi melebihi jumlah normal. Etiologi belum diketahui secara pasti, tetapi dalam jurnal diterangkan bahwa etiologi dari gigi supernumerary adalah :
1.     adanya pergerakan dental lamina yang sangat cepat
2.     adanya gigi yang mengalami pembelahan pada fase bud stage
3.     factor herediter
4.     factor gender sebagai kecenderungan insidensi gig supernumerari
(Sharma dan Singh,2012)
Gigi supernumerari memiliki banyak variasi, ukuran, dan bentuk. Umumnya berbentuk kerucut selain itu supplemental, tuberkel, bentuk molar, incisor like, germinate premolar, molar like (Liu et al, 2007).  Morfologi gigi suoernumerari Supplemental adalah tipe gigi supernumerary yang menyerupai gigi normal dan terjadi pada akhir rangkaian gigi, misalnya penambahan gigi insisivus lateral, premolar kedua, atau molar keempat. Menurut Liu et al. tahun 2007 terdapat bentuk incisor-like, premolar-like, geminated-premolar-like dan molar-like. Selain itu terdapat bentuk konus atau peg-shaped bentuk ini  sering terjadi di antara gigi insisivus sentral rahang atas. Umumnya terkait dengan perubahan letak gigi yang berdekatan, tapi juga dapat tidak erupsi atau tidak memiliki efek sama sekali. Bentuk tuberkel adalah tipe yang dijelaskan sebagai barrel-shaped, tetapi biasanya kebanyakan gigi supernumerari yang tidak termasuk kategori konus atau supplemental masuk dalam kategori ini. Tipe ini sering mengalami kegagalan erupsi. Kemudian terdapat bentuk odontoma variasi ini sangat jarang jarang. Compound or complex form.
Gigi supernumerary dapat terjadi di daerah maksila dan mandibular juga pada periode gigi desidui maupun gigi permanen. Gigi supernumerary bisa terjadi secara unilateral, bilateral, dari dua rahang atau satu rahang. Sering kali ditemui dalam keadaan impaksi daripada dalam keadaan erupsi (Sharma dan Singh, 2012). Gigi supernumerary sebesar 90-98% ditemukan pada rahang atas. GIgi supernumerary, dapat dibedakan menjadi Single supernumerary, double supernumerary, dan multiple supernumerary. Rata-rata dari kasus supernumerary, single supernumerary merupakan kasus yang sering terjadi yakni sebesar 79%, diikuti 20% untuk double supernumerary, dan 1 % untuk multiple supernumerary. Dan pada umumnya, gigi supernumerary dalam keadaan impaksi (Sharma dan Singh,2012). Umumnya, sebesar 83,5% gigi supernumerary mempunyai berbentuk conical, atau berbentuk pasak. Bentuk lainnya dapat menyerupai bentuk gigi asli, tetapi ini merupakan hal yang jarang ditemui.
 Selain itu Posisi gigi supernumerary dapat terjadi dalam arkus, tetapi saat berkembang di antara gigi insisivus sentral dikenal sebagai mesiodens. Gigi supernumerari yang berada dari distal arkus disebut distomolar, dan gigi supernumerari yang berdekatan dengan molar dikenal sebagai paramolar. Gigi supernumerari biasanya ditemukan pada rahang atas, komplikasi yang sering terjadi akibat adanya gigi supernumerari adalah adanya diastema yang abnormal, resorpsi akar, pembentukan kisat dentigerous (Liu et al, 2007).
      Keberadaan gigi supernumerary biasanya dapat menimbulkan dampak pada rongga mulut. adapun dampaknya yaitu :
1. Kegagalan erupsi
Keberadaan gigi supernumaerari adalah alasan utama untuk gigi insisivus sentral maksila yang tidak muncul. Tetapi, kegagalan erupsi banyak gigi pada kedua arkus dapat disebabkan supernumerari. Manajemen masalah ini adalah dengan menghilangkan gigi supernumerari dan yakin bahwa terdapat ruang untuk mengakomodasi  gigi yang tidak erupsi dalam arkus. Jika gigi tidak erupsi secara spontan dalam 1 tahun, diperlukan operasi kedua untuk memunculkannya dan melakukan perawatan ortodontik.
2.Perubahan letak
Keberadaan gigi supernumerari dapat dikaitkan dengan perubahan letak atau rotasi dari gigi permanen yang erupsi. Manajemen yang dilakukan pertama kali adalah menghilangkan gigi supernumerari, biasanya diikuti alat ortodontik cekat untuk meratakan gigi yang dipengaruhi.
3.Crowding
Hal ini disebabkan oleh tipe supplemental dan dirawat dengan menghilangkan gigi yang bentuknya paling buruk.
Tidak ada efek.
adakalanya gigi supernumerari (biasanya tipe konus) dideteksi secara tidak sengaja pada radiograf regio insisivus rahang atas. Gigi ekstra tersebut tidak mengganggu letak gigi insisivus rahang atas, sehingga dapat dibiarkan in situ pada pengamatan radiografi. Gigi ini biasanya asimptomatik dan tidak terlihat menimbulkan masalah (Mitchell, 2007).
Berikut adalah gambaran gigi supernumerary secara klinis :
II.2 cone-beam computed tomography (CBCT)
Cone beam computed tomography (CBCT) merupakan sistem foto radiografi  berkualitas tinggi yang digunakan untuk diagnosa, berupa gambaran 3 dimensi yang akurat, dan dapat memberikan gambaran mengenai elemen-elemen tulang yang ada pada kerangka maksilofasial. Sistem CBCT dapat memberikan gambaran sampai dengan ukuran yang kecil dan dengan dosis radiasi yang rendah tetapi dengan hasil resolusi yang memadai juga dapat digunakan untuk melakukan diagnose, sebagai panduan perawatan serta untuk evaluasi paska perawatan. ada bidang kedokteran gigi gambaran 3 dimensi merupakan hal yang penting, CBCT telah dipertimbangkan untuk menjadi salah satu prosedur standard perawatan . Selain itu juga CBCT scan dapat memeberikan akurasi lebih baik dari penilaian 3-dimensi utnuk memberikan prediksi hasil perawatan yang lebih baik dan mengurangi resiko yang terkait dengan gigi impaksi. Hal ini dapat dikaitkan dengan gigi supernumerary yang sering ditemukan dalam keadaan impaksi. CBCT dapat memvisualisasikan posisi gigi yang mengalami impaksi dan memberikan gambaran dengan struktur sekitarnya dan gigi yang terletak didekatnya. Selain itu CBCT dapat digunakan dalam mempertimbangkan prognosis dari suatu perawatan karena memiliki kaurasi yang lebih tinggi.
CBCT terdiri sumber x-ray dan juga detektor yang terpasang  pada alat yang dapat berputar (gambar 1). Sumber radiasi ionisasi berbentuk pyramid divergen atau berbentuk cone (kerucut) diarahkan pada bagian tengah daerah yang diinginkan dan mengarah pada x-ray detektor yang dipasangkan berlawanan arah dari sisi pasien. Sumber x-ray dan detektor akan berputar pada titik tumpuannya memutari daerah yang diinginkan (ROI). Selama sekuens eksposur yang dilakukan didapat ratusan gambar yang nantinya akan menjadi bidang pandangan pada gambaran yang didapatkan (FOV) dengan luas pandang lebih kurang 1800. Hanya dengan satu kali putaran saja, CBCT akan menghasilkan gambaran radiografis 3yang sesuai dengan cepat dan akurat. Pemaparan CBCT bersamaan dengan FOV secara keseluruhan hanya dengan dengan satu kali putaran, telah cukup untuk memperoleh data gambar  yang akan direkonstruksi nantinya. CBCT mampu menghadirkan resolusi submilimeter spatial dari gambar craniofacial kompleks dengan waktu singkat disbanding teknik radiografi panoramik selain itu dosis pemaparan lebih rendah dibanding teknik fan beam atau helical computed tomografi. (Schulze D, et al., 2004).
kelebihan dari CBCT adalah menggunakan dosis yang lebih kecil daripada CT biasa, waktu pelaksanaannya juga pendek, yakni 10-70 detik saja. Kekontrasan CBCT juga tinggi dan lebih nyaman digunakan. (Epsilawati, 2007).CBCT sangat tepat untuk mencitrakan area kraniofasial. Gambar yang didapatkan jelas dengan struktur yang kontrasnya tinggi dan sangat berguna untuk mengevaluasi tulang. (Scarfe, 2006).
Penggunaan CBCT untuk diagnosis gigi supernumerari sangat dianjurkan. Dengan CBCT maka dapat dihindari kesalahan posisi dari struktur gigi dan skeletal, mengetahui posisi pasti gigi supernumerari, dan dapat diperoleh gambaran jaringan lunak gigi (Liu, et.al, 2007). Selain itu, CBCT juga dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah total gigi supernumerari, mengetahui posisi pasti gigi supernumerari sehingga mengkonfirmasi diagnosis (Anthonappa, 2011).
Lapangan pandang alat cone beam CT ini terbatas, tergantung dari jenis pesawatnya dan tidak dapat diatur seperti pada CT konvensional yang memiliki lapangan pandang jauh lebih luas. (Epsilawati, 2007) Selain itu, harganya relatif mahal dan radiasi yang digunakan juga agak lebih tinggi. (Liu, et.al., 2007).
Interpretasi gigi supernumerari yang terlihat dari gambaran yang dihasilkan oleh CBCT adalah merupakan suatu gambaran 3-dimensi. Dimana pada gambaran 3-dimensi ini sangat jelas terliat bagaimana hubungan gigi supernumerary terhadap jaringan sekitarnya. Tidak terdapatnya gambaran superimposisi pada gambaran radiografi CBCT memberikan akurasi yang tinggi untuk mendiagnosa kasus gigi supernumerari dengan melihat letak, bentuk, ukuran serta relasi dengan jeringan sekitarnya. Berikut adalah gambaran gigi supernumerari dengan menggunakan pencitraan CBCT .
pada gambaran yang dihasilkan oleh CBCT sangat jelas terlihat gambara radiografi gigi supernumerari merupakan suatu gambaran radiopak seperti yang ditunjuk oleh anak panah. Terlihat sangat jelas hubungan gigi supernumerary dengan gigi tetangganya dan jaringan lunak sekitarnya.
II.3 Radiografi Konvensional
      Radiografi konvensiaonal adalah radiografi dengan hasil gambar 2-Dimensi dengan cara prosesing atau pencetakan film yang masih manual. Pencitraan radiografi konvensional sering diperlukan sebagai diagnose penunjang dari berbagai kasus yang sering terjadi dalam dunia kedokteran maupun kedokteran gigi. Dalam dunia kedokteran gigi, terdapat dua jenis radiografi yaitu radiografi intraoral dan ekstraoral. Radiografi intraoral seperti radiografi periapikal, bitewing dan oklusan. Sedangkan radiografi ekstraoral seperti radiografi panoramic (OPG) dan radiografi sefalometri. Keduanya merupakan radiografi konvensional yang sering digunakan dalam diagnose penunjang. Seperti pada jurnal utama menjelaskan bahwa Radiografi konvensional yang biasanya digunakan untuk mendiagnosa gigi supernumerari adalah pemeriksaan radiologi periapikal, panoramik, oklusal, dan sefalometri. Gambaran film yang diambil secara oklusal ataupun periapikal menunjukan gambaran yang rinci pada gigi anterior sedangkan untuk area buko-lingual biasanya menggunakan teknik paralaks, yaitu tabung dengan posisi horizontal. (Deng-gao, dkk, 2007). Namun pada dua jurnal pendukung hanya 2 teknik radiografi yang digunakan untuk menegakan diagnosis gigi supernumerary yaitu : Radiografi oklusal dan Radiografi Panoramik.
Radiografi periapikal merupakan teknik  intraoral yang  dirancang untuk menunjukkan gigi individu dan jaringan di sekitar apeks. Setiap film biasanya menunjukkan 2-4 gigi dan memberikan informasi rinci tentang gigi dan tulang alveolar sekitarnya. (White, 2007). Sehingga tidak dapat menegakan diagnosis secara pasti mengenai lokasi dari gigi supernumerary secara jelas.
Radiografi panoramik sangat populer dalam teknik kedokteran gigi. Hal ini dikarenakan  Semua gigi dan struktur pendukungnya yang ditampilkan pada satu film, teknik ini cukup sederhana serta dosis radiasi yang relatif rendah. (White, 2007).
      Radiografi panoramik adalah langkah mengidentifikasi, lokasi dan bedah ekstraksi gigi supernumerary. (allan, 2007). Hal, tersebut juga di dukung pada jurnal (Sharma dan Singh,2012). yang mengatakan bahwa kebanyakan dokter gigi menggunakan radiografi panoramik sebagai pilihan pertama meraka karena radiografi panoramik merupakan suatu prosedur yang non-invasif yang dapat ditolerir oleh kebanyakan anak-anak. Selain itu dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai wilayah dento-maxillo-facial. Termasuk dalam kasus supernumerary teeth (hiperdontia).
Radiografi oklusal didefinisikan sebagai radiografi intraoral yang tekniknya diambil menggunakan gigi sinar-X. Dimana paket film (5,7 x 7,6 cm) atau kaset kecil intraoral yang ditempatkan pada bidang oklusal. Radiografi Oklusal dapat mendeteksi adanya gigi taring tidak erupsi, supernumerary dan odontomes. (White,2007). Prinsipnya oblik oklusal ini dapat untuk melihat sampai di bagian apeks, gigi supernumerary. (Gunawan, 1998).
Pada jurnal (Sharma dan Singh,2012). tercatat banyak kasus gigi supernumerary yang terlihat dari radiografi oklusal yang ditinjau dari arah oklusal. Seperti impaksi supernumerary, kagaglan erupsi gigi normal yang dikarenakan adanya gigi supernumerary berbentuk kerucut, dan kasus lainnya yang diambil dari survey 300 kasus pada anak-anak.
CARA KERJA RADIOGRAFI KONVENSIONAL
Teknik radiografi konvensional yang sering digunakan untuk mendeteksi gigi supernumerary ialah radiografi panoramik (OPG) dan radiografi oklusal. Radiografi konvensional ini hanya  memiliki pencitraan sebatas 2 dimensi. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh cara kerja dari pengambilan gambar pada radiografi konvensional itu sendiri. Sumber sinar yang digunakan hanya satu arah saja yang mana akan menumbuk pada objek (gigi-geligi) dan akan ditangkap oleh film.
      Pada teknik pengambilan gambar radiografi panoramik, objek (kepala) berada pada posisi statis / diam, sedangkan sumber sinar / target dan film bergerak memutar secara bersamaan dan dinamis. Sinar akan menumbuk struktur gigi-geligi dari arah lateral menutu mesial dan kembali ke sisi lateral yang lain. Sinar yang telah memapar pada fasial dan gigi-geligi, akan ditangkap oleh film panoramik yang bergerak, yang ukurannya cukup panjang. Dengan demikian akan terbentuk gambaran struktur fasial dan gigi-geligi yang cukup luas dan mamungkinkan untuk melihat gambaran gigi secara keseluruhan / lengkap.
Pada teknik pengambilan gambar radiografi oklusal, film diletakkan pada bidang oklusal gigi, dan arah sumber sinar berada pada sisi bawah ataupun atas kepala. Sinar akan menumbuk struktur gigi pada bagian oklusal, dan akan ditangkap oleh film oklusal. Hasil yang didapat ialah gambaran struktur gigi-geligi dengan arah pandang dari sisi bidang oklusal.
Selain dari teknik cara kerja, prosesing film juga mempengaruhi hasil dari pencitraan gambaran 2 dimensi. Radiografi konvensional ini menggunakan prosesing manual, dimana masih menggunakan cairan development dan fixing. Teknik yang digunakan cukup sederhana, dengan cara mencelupkan film ke cairan tersebut untuk menghasilkan gambaran radiograf. Citraan yang dihasilkan hanya sebatas lembaran radiograf 2 dimensi dengan gambaran radiolusen (warna hitam) dan radiopaque (warna putih).
Pada radiografi konvensional keuntungan yang utama adalah harganya yang relatif murah dan film lebih mudah ditempatkan di dalam rongga mulut karena sifatnya yang fleksibel dan mudah dibengkokkan.(Peker et al, 2009). Sedangkan kekurangan dari radiografi konvensional adalah relatif tidak efisien dalam mendeteksi radiasi dan juga membutuhkan penyinaran radiasi yang lebih tinggi. Memerlukan prosesing untuk menghasilkan gambar dan proses ini sering sekali menjadi sumber kesalahan serta pengulangan dalam pengambilan gambar.Selain itu juga, hasil akhir dari radiografi dengan teknik konvensional tetap sulit dimanipulasi dalam satu kali penyinaran. (Peker et al, 2009).
      Interpretasi gambaran gigi supernumerari dalam gambaran radiografi konvesiaonal dalam hal ini diambil secara oklusal dan paniramik adalah dimana gigi supernumerary tampak seperti gambaran radiopak, dimana terkadang terdapat suatu gambaran yang sedikit berbeda dengan gigi supernumerari yang sebenarnya. Perbedaan itu mencangkup perbedaan ukuran karena terjadi distorsi gambar seprti elongasi ataupun superimposisi. Sehingga, akan sedikit lebih menyulitkan dalam membantu penegakan diagnose kasus gigi supernumerary. Berikut gambaran radiografi gigi supernumerary yang diambil dengan radiografi konvesional oklusan dan panoramic.
dari beberapa gambar diatas menunjukan gambaran kasus gigi supernumerari yang diambil oleh radiografi konvensional. Dapat terlihat bahwa gambaran yang diambil dengan menggunakan radiografi konvensional kurang terlalu terlihat antara hubungan gigi supernumerary dengan jaringan lunak sekitarnya. Selain itu kurang dapat terlihar kolerasi antara gigi supernumerary dengan gigi tetangganya. hal ini terjadi karena keterbatasan radiografi konvensional yang hanya menhadirkan gambaran 2-dimensi sedangkan anatomi dalam bentuk asli merupakan suatu benda yang bersifat 3-dimensi.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini akan membahas menganai ketiga jurnal yang telah kami kaji dan telah kami pelajari. Dimana terdapat tiga jurnal yaitu dengan satu jurnal utama dan dua jurnal pendukung. Jurnal utama yang kami kaji dengan judul “Three-dimensional evaluation of supernumerary teeth using cone-beam computed tomography for 487 cases” dan dua jurnal pendukung lainnya dengan judul “ Reliability of panoramic radiographs for identifying supernumerary teeth in children” dan “supernumerary teeth in indian children: A survey of 300 case”. Dalam pembahasan kami akan menerangkan kolerasi mengenai isi darikeseluruhan jurnal yang kami kaji.
Pada jurnal  utama dijelaskan bahwa gambaran gigi supernumerary yang di peroleh dngan menggunakan CBCT menunjukan suatu gambara 3-dimensi yang jelas. Dimana kita tidak hanya mengetahui letak dari gigi supernumerary tetapi kitapun dapat melihat bentuk dan relasi antara gigi supernumerary dengan jaringan sekitarnya secara jelas. CBCT mampu memvisualisasikan struktur dental dan skeletal yang berhubungan dengan lokasi gigi supernumerari yang dievaluasi.  Sehingga sangat membatu seorang dokter dalam penegakan diagnose maupun rencana perawatan yang akan dilakukan terhadap pasien. Penggunaan CBCT ini dinilai sangat efisien dalam mendeteksi kasus gigi supernumerari terutama yang mengalami impaksi secara jelas. Selain itu pada gambara CBCT sangat kecil kemungkinan gambar terjadi distorsi seperti pada gambaran radiografi konvensional sehingga menyajikan suatu data yang akurat. Namun kelemahandari CBCT ini adalah harga yang relative mahal sehingga tidak semua kalangan mampu melakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CBCT.
Radiografi konvensional adalah suatu radiografi yang menyajikan gambaran anatomi 2-dimensi. Dalam kasus gigi supernumerary seperti yang telah dikaji pda jurnal pendukung dengan judul Reliability of panoramic radiographs for identifying supernumerary teeth in children dan supernumerary teeth in indian children: A survey of 300 case. disebutkan bahwa penggunaan radiografi konvensional yang sering digunakan dalam mendeteksi adanya gigi supernumerary seringkali menggunakan teknik radiografi panoramic (OPG) dan oklusal. Karena kedua teknik tersebut dipertimbangkn dapat mendeteksi insidensi gigi supernumerri lebih jelas dibandingkan dengan teknik radiografi konvensional lainnya. Namun kelemahan yang dimiliki oleh radiografi konvensional adalah dimana gambaran yang dihasilkn eringkali mengalami distorsi. Dimana adanya ketidaksesuatuan struktur anatomi pada gambaran radiografi dengan struktur anatomi yang aslinya. Hal ini jelas sangat merugikan ketika seorang dokter gigi akan menegakan suatu kasus gigi supernumerari. Selain itu gambaran jaringan lunak pada gambaran radiografi konvensional kurang tercitra sehingga menyulitkan seorang dokter gigi ketika ingin melihat relasi antara keberadaan gigi supernumerari dengan jaringan lunak disekelilingnya. Namun kekurangan ini dapar diatasi jika kita berhati-hati dalam melakukan pencitraan dengan menggunakan radiografi konvensional. Harga yang mudah dijangkau seringkali menjadi alas an pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan radiografi konvensional.
Dari inti kedua jurnal yang telah dikaji,  bahwa terdapat suatu perbedaan gambaran mengenai gigi supernumerari yang dihasilkan oleh CBCT dengan radiografi konvensional. Perbedaan dari gambaran tersebut adalah gambaran 2-dimensi yang dihasilkan CBCT dan gambaran 2-dimensi yang dihasilkan oleh radiografi konvensional. Gambaran CBCT lebih menunjukan suatu gambaran yang akurat dan jelas, tidak menunjukan gambaran yang superimposisi karena gambaran yang dihasilkan merupakan suatu gambaran 3-dimensi sehingga letak, bentuk , dan region dari gii supernumerari dapat dideteksi dengan mudah. Namun harga pemeriksaan dengan CBCT relative mahal. Sedangkan pada gambaran radiografi konvesional merupakan suatu gambaran radiografi 2-dimensi yang seringkali mengalami distorsi seperti superimposisi. Hal ini menyebabkan interpretasi yang sulit dan akurasi yang minimal sehingga kurang membantu dalam menegakan diagnosis maupun rencana perawatan. Namun harga pemeriksaan dengan menggunakan radiografi konvensional relative lebih murah jika dibandungkan dengan CBCT.
Pengaplikasian penggunaan CBCT dan penggunaan radiografi konvensional sama-sama dapat digunakan dalam mendeteksi kasus gigi supernumerari. Perbedaannya terletak pada akurasigambar yang dihasilkan dan harga. Sehingga penggunaan keduanya untuk mendeteksi kasus gigi supernumerari menjadi suatu pertimbangan yang dapat dipilih oleh pasien itu sendiri. 
BAB IV
KESIMPULAN
Dari jurnal dan literature yang telah dikasi diatas, dapat disimpulkan bahwa            :
1.            gambaran yang dihasilkan oleh CBCT merupakan gambara 3-dimensi yang memiliki akurasi yang lebih tinggi dalam interpretasi kasus gigi supernumerari jika dibandingkan dengan radiografi konvensional.
2.            Harga pemeriksaan dengan menggunakan CBCT relative lebih mahal jika dibandingkan dengan radiografi konvensional.
3.            pengaplikasian CBCT dan radiografi konvensional dalam mendeteksi kasus gigi supernumerari dapat dipilih berdasarkan kebutuhan diagnose dan rencana perawatan serta berdasar harga yang mampu dijangkau oleh pasien. 
daftar pustaka
 Allan, Firman G., 2007. Panoramic Radiology. Springer : New York
Anthonappa, Robert P., et.al. Reliability of panoramic radiographs for identifying
supernumerary teeth in children. International Journal of Paedriatic Dentristry. 2012;22:37-4.
Epsilawati, Lusi. 2007. Cone Beam Computer Tomography dan Medical Computed Tomografi. Bandung: FKG UNPAD
Gunawan, Margono., 1998. Radiologi Intraoral Teknik, Prosesing, Interpretasi, Radiograf. EGC : Jakarta.
Liu, Deng-gao, et.al. Three-dimensional evaluations of supernumerary teeth using
-beam computed tomography for 487 cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2007;103:403-11)
Mitchell, Laura. 2007. An Introduction to Orthodontics, 3rd ed. New York: Oxford University Press Inc.
Scarfe, William C., et.al., Clinical Applications of Cone-beam Computed  Tomography in Dental Practice. J Can Dent Assoc2006;72(1):75-80
Schulze D, Heiland M, Thurmann H, Adam G. Radiation
exposure during midfacial imaging using 4- and 16-slice computed tomography, cone beam computed tomography systems and conventional radiography. Dentomaxillofac Radiol 2004;33:83-6.
Sharma, Amita and V. P. Singh. 2012. Supernumerary Teeth in Indian Children: A Survey of 300 Cases. International Journal of Dentistry. Vol. 2012: 1-5.
Peker I, Alkurt TM, Usalan G et al.2009.The Comparison Of Subjective Image Quality In Conventional And Digital Panoramic Radiography. Indian J Dent Res. 20 (1)
White, E. 2007. Essentials of dental Radiography and Radiology, 4th edition. Gurcill Livingstone : Philadelpia.

Interpretasi Karsinoma Sel Skuamous dalam Gambaran Radiografi

Interpretasi Karsinoma Sel Skuamos dalam Gambaran Radiografi
 
Gambaran secara klinis dari penderita karsinoma sel skuamousa adalah terjadinya kemerahan pada daerah lesi dan menimbulkan rasa sakit yang disertai dengan buntik atau bercak berwarna putih dengan atau tanpa disertai ulserasi. Penampakan serupa dengan lesi awal pada terjadinya karsinoma secara umum dan lesi premaligna yang terjadi akibat adanya keratinisasi dan dysplasia sel epitel.
Ketika karsinoma membesar dan berkembang menjadi nodul-nodul atau menjadi ulserasi . pengerasan terjadi akibat adanya inflamasi dan fibrosis yang dapat menginfiltrasi ke jaringan. Seiring waktu karsinoma akan membentuk ulserasi yang keras dengan tipe bentuk rolle border .  prognosis tergantung pada waktu dalam mendiagnosa suatu karsinoma. Diagnose pada tahap lanjut akan menyebabkan suatu prognosis yang buruk. Deteksi karsinoma harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya metastasis dari suatu karsinoma.
            Ulserasi sering dikaitkan pada rasa sakit saat mastikasi. Rasa sakit sering tidak terukur saat melakukan diagnose karsinoma. Tetapi, rasa sakit sering terjadi pada karsinoma tahap lanjut. Perdarahan baik secara spontan maupun akibat trauma ringan juga merupakan ciri dari karsinoma pada tahap lanjut (Cawson, R.A and Odell, E.W., 2008).
            Karsinoma sel skuamous yang muncul pada glandula salivarius merupakan kasus yang jarang terjadi. Insidensi karsinoma sel skuamous pada glandula submandibular paling banyak terjadi, diikuti oleh glandula salivarius parotis. Adanya insidensi obstruktif sialodeniti pada glandula submandibular, sering dijadikan sebagai faktor predisposisi terjadinya karsinoma sel skuamous pada glandula submandibular. Kasus tersebut sering terjadi pada pasien dengan usia lanjut diatas 70 tahunan.
            Karsinoma sel skuamous yang terjadi pada glandula parotis dan submandibular, umumnya dapat dibedakan dengan ada atau tidaknya produksi mucin. Dalam diagnosa karsinoma sel skuamous memiliki kemiripan dengan karsinoma mukodemoid tahap lanjut.
            Local rekuren dan metastasis limfonodi regional merupakan kasus yang paling sering terjadi. Metastasis terjadi dalam durasi yang cepat, namun jarang terjadi metastasis dalam durasi yang lama. Pembedahan merupakan suatu alternatif tindakan yang dapat diberikan terhadap pasien yang menderita karsinoma sel skuamous ( Regezi, and James S. 1993).
            
gambar no.1 diatas merupakan gambaran karsinoma sel skuamous secara klinis. Sedangkan pada gambaran no. 2 menunjukan gambaran karsinoma sel skuamous secara radiografi dengan menggunakan teknik radiografi penoramik atau OPG. Dimana terdapat suatu daerah radiolusen yang luas pada region molar tiga dengan batas yang jelas berupa gambaran radiopak dan tredapat area radolusen diantaranya. Batas radiopak tersebut merupakan gambaran adanya proses keratinisasi dan dysplasia pada sel epitelnya  ( farnaz falaki et al , 2009).
 
Daftar Pustaka
Cawson, R.A and Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral
 Medecine, 8th ed. London:Elsevier.
Regezi, Joseph A., and James S. 1993. Oral Pathology : Clinical Pathologic Correlation, 2nd ed. 
             Philadelphia : W.B Saunders Company.
Falaki, Farnaz., et al. 2009. Squamous Cell Carcinoma Arising from an Odontogenic
            Keratocyst : a Case Report

SIK (SEMEN IONOMER KACA)

SEMEN IONOMER KACA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Beberapa tahun belakangan ini , penggunaan resin komposit telah meluas dari gigi anterior dan posterior. Karena pasien semakin lama semakin menyadari akan adanya estetis tumpatan dan meminta dokter gigi untuk menawarkan jalan lain yang lebih memuaskan estetisnya. Sampai saat ini bahan tumpatan yang nilai estetisnya baik, adalah resin komposit. Resin komposit mempunyai keterbatasan dalan merestorasi kavitas yang meluas ke dentin. Karena dapat mengiritasi pulpa dan terbentuknya celah mikro. Untuk menutupi keterbatasan ini, maka dipakailah semen ionomer kaca sebagai basis karena bahan ini memiliki biokompabilitas antara struktur gigi dan ionomer, dikembangkanlah suatu modifikasi tumpatan yang dikenal dengan nama restorasi sandwich. Dalam makalah ini khusus dibahas mengenai resin komposit dengan semen ionomer kaca. Restorasi sandwich ini dapat dipakai pada semua kavitas dan bertujuan antara lain untuk fungsi estetis, pengunyahan, mencegah celah mikro, serta untuk kekuatan gigi.
 
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi
Teknik sandwich pada semen ionomer kaca adalah restorasi berlapis yang menggunakan semen ionomer kaca dan resin komposit, di mana semen ionomer kaca akan menggantikan dentin sedangkan resin komposit akan menggantikan enamel (Hewlett and Mount, 2003).
Istilah teknik Sandwich mengacu kepada tumpatan restorasi yang menggunakan semen ionomer kaca untuk menggantikan dentin dan resin komposit untuk menggantikan enamel. Strategi ini menggabungkan sifat paling baik dari kedua bahan tersebut  seperti Daya tahan terhadap karies, Adhesi secara kimia terhadap dentin, Pelepasan fluor dan proses remineralisasi , Pengerutan pada lapisan dalam yang rendah, Pengikatan semen ionomer kaca dengan enamel, Penyelesaian akhir enamel, Durabilitas dan Sifat resin komposit yang estetis (Mount and Hewlett, 2003). Biasanya,  Dalam penerapan teknik sandwich biasanya di awali dengan pelapisan SIK tipe II pada dasar kavitas, kemudian di lanjutkan dengan penggunaan resin komposit untuk memberikan ketahanan dan durability ( annusavice, 2003 ).
semen ionomer kaca berfungsi untuk meningkatkan ikatan antara dentin dengan restorasi menggunakan bahan komposit (Manappallil, 2003). Selain itu Keuntungan dari penggunaan semen ionomer kaca yang lain adalah dapat melepaskan ion flour yang memungkinkan untuk mencegah terjadinya karies sekunder. Namun di sisi lain semen ionomer kaca juga memiliki kekurangan yaitu tidak dapat menerima tekanan kunyah yang besar, mudah abrasi, erosi, dan dari segi estetisnya tidak sempurna karena translusensinya lebih rendah dari resin komposit (Dunn, 2004).
Semen Ionomer Kaca (SIK) memiliki kelebihan berikatan dengan dentin dan email lebih baik karena melepaskan fluor lebih banyak daripada resin komposit.SIK berikatan dengan dentin melalui adhesi kimia (Manapphallil, 2003), sedangkan komposit tidak memiliki ikatan kimia terhadap email dan dentin. SIK memiliki biokompabilitas yang lebih baik daripada resin komposit.
Resin komposit memiliki kelebihan yaitu memiliki sifat fisik lebih baik daripada SIK. Juga memiliki estetik yang lebih baik daripada SIK.
Melihat dari kelebihan dan kekurangan SIK dan resin komposit, 2 bahan ini dapat dipadukan. SIK sebagai base dan resin komposit sebagai tumpatan di atas SIK yang dikenal dengan teknik ’sandwich’.
Dengan mengaplikasikan teknik sandwich berarti menggunakan 2 jenis bahan tumpatan didalam sebuah kavitas, hal ini menyebabkan terjadinya 2 janis ikatan. Ikatan yang terjadi adalah Ikatan SIK dengan email dan dentin (ionic bond) dan Ikatan SIK dengan material tumpatan (mechanics bond). Akibat adhesi dengan dentin, bahan cenderung mengurangi terbentuknya ruang pada tepi gingival yang berlokasi di dentin, sementum, atau keduanya akibat penyusutan polimerisasi dari resin. Permukaan semen yang sudah mengeras di etsa untuk menghasilkan permukaan yang lebih kasar sehingga menambah retensi, yang menjamin adhesi dengan bahan restorasi komposit.
Ikatan SIK dengan email dan dentin (ionic bond) terjadi melalui adhesi kimia (Manapphallil, 2003). Semen ionomer kaca diaplikasikan dalam bentuk cairan dan cairan ini bersifat sangat asam. Garam metallic polyalkenoate menyatu dengan hidroxyapatite dengan menghilangkan ion fosfat. Kelompok carboxylic dari rantai polyalkenoate dapat bereaksi dengan kalsium dari hidroxyapatite untuk mengikat semen ionomer kaca dengan dentin dan enamel (Spiller, 2000).
SIK berikatan dengan email dan dentin secara kimiawi selama proses setting. Perekatan ini terutama melibatkan gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit email dan dentin. Ikatan dengan email lebih kuat daripada ikatan dengan dentin, mungkin karena kandungan anorganik dari email lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar dilihat dari sudut pandang morfologi (Annusavice,2004).
Ikatan akan lebih efektif jika permukaan kavitas dibersihkan terlebih dahulu tanpa menghilangkan jumlah ion kalsium secara berlebihan. Jika  kavitas terbuka hingga bagian dentin maka harus dilapisi terlebih dahulu dengan kondisioner agar dentin tidak terlalu kering dan terlalu basah, dilanjutkan dengan larutan dilute dari ferroklorida juga dapat meningkatkan bonding atau ikatan. (Craig, 2000).
Ikatan SIK dengan material tumpatan (mechanics bond) terjadi ketika larutan phosporic acid digunakan untuk mengetsa enamel. Selain itu terkadang operator juga menggunakan larutan phosporic acid ini untuk mengetsa lapisan tipis semen ionomer kaca dan dibiarkan selama 15 sampai 20 detik. Ketika larutan phosporic acid ini dibersihkan, enamel yang pada awalnya mengkilat, akan terlihat kasar. Apabila diamati dengan mikroskop, permukaan akan terlihat seperti gunung dan lembah. Permukaan yang kasar ini kemudian akan menimbulkan ikatan mekanik. Baik antara semen ionomer kaca dengan dentin maupun antara semen ionomer kaca dengan resin komposit (Manappallil, 2003).
II.2  Indikasi Penggunaan Teknik Sandwich pada Restorasi SIK
Tujuan dari restorasi sandwich adalah untuk mendapatkan fungsi estesis, pengunyahan, mencegah celah mikro serta menambah kekuatan gigi. Fungsi estetis didapat dari bahan resin komposit sebagai tempatan karena resin komposit memiliki trans lusensi yang lebih tinggi dibanding semen ionomer kaca. Resin komposit juga dapat menerima tekanan kunyah yang besar. Untuk mencegah celah mikro digunakan semen ionomer kaca sebagai basis karena dapat melepaskan flour untuk mencegah terjadinya sekunder karies ( Fejerskov & Kidd, 2008 ).
Teknik sandwich biasanya di aplikasikan dalam hal – hal berikut ini :
1.   Lesi dimana terdapat satu atau lebih margins pada dentin (misal pada cervical lesions)
2.   Karies yang disebabkan abrasi pada daerah servikal ataupun lesi kelas V, menurut klasifikasi G.V. Black, ditemukan pada Manula, pada orang yang kurang baik dan benar cara menyikat giginya, serta pada kasus di mana preparasi jaringan sehat gigi kurang memungkinkan. Akibatnya, preparasinya diusahakan untuk tidak mengambil jaringan yang sehat.
3.   Restorasi komposit class II
Restorasi komposit kelas II digunakan sebagai bahan tumpatan khususnya untuk aplikasi gigi pada daerah yang memerlukan tekanan dan daya abrasi tinggi. Ukuran partikel dari beberapa komposit berbahan pengisi partikel kecil memungkinkan diperolehnya permukaan halus , akan tetapi bahan ini tidak sebaik komposit hibrid (Annusavice, 2003).
Berdasarkan klasifikasi menurut penggunaan klinisnya, resin komposit kelas 2 ini dapat dibedakan lagi menjadi 2 yaitu, Tipe II-1 SIK untuk keperluan estetis. Untuk tipe ini tersedia baik pada SIK konvensional dan resin modifikasi digunakan pada aplikasi yang mementingkan nilai estetika yang tinggi namun tidak tahan terhadap beban oklusal. Tipe komposit ini juga memiliki shade range yang cukup bagus. Namun bila ditinjau dari segi kecepatan reaksi setting yang tergolong lama, ini menyebabkan sangat rentan terhadap penyerapan dan kehilangan air, selain itu reaksi setting yang lama membutuhkan waktu minimal 24 jam setelah penumpatan sebelum dilakukannya finishing. Sifat radiolucent pada komposit jenis ini cenderung bersifat radiolucent sehingga dipergunakan untuk aplikasi gigi geligi anterior.
Tipe II-2 SIK untuk keperluan penambahan kekuatan Untuk tipe ini digunakan pada aplikasi yang tidak mementingkan estetika tapi memiliki kelebihan berupa reaksi setting yang cepat dan memiliki sifat fisis yang naik. Reaksi setting yang cepat dengan resistensi awal terhadap penyerapan air memungkinkan segera dilakukannya pemolisan. Namun tipe ini memiliki kekurangan yaitu rentan terhadap dehidrasi selama 2 minggu, setelah initial set. (Burrow, M.F. 2004)
Dalam hal manipulasi, SIK tipe II ini tersedia dalam bentuk bubuk- cairan dan kapsul (bubuk – cairan). Dalam bentuk bubuk – cairan dengan rasio W/P berkisar 1,25 – 1,5 g/ 1 ml. Bubuk dan cairan digabungkan dengan cepat selama 30-45 detik. Penyemenan dilakukan sebelum semen kehilangan kilap. Pelapisan semen disini berfungsi untuk melindungi dari kontaminasi air. Dalam bentuk kapsul, pengadukan dilakukan dengan amalgamator. Kapsul lebih mudah dilakukan karena rasio W/P dapat dikontrol (Tempo, 2008).

II. 3  PROSEDUR RESTORASI TEKNIK SANDWICH
Dikenal dua macam restorasi laminasi, yaitu restorasi laminasi terbuka dan restorasi laminasi tertutup, atau sering disebut sebagai restorasi open-sandwich dan close-sandwich.
Restorasi laminasi terbuka merupakan indikasi pada kavitas kelas II dan kelas V dengan batas dinding gingiva melewati cemento-enamel junction (CEJ). Glass ionomer diaplikasikan pada dasar restorasi bagian proksimal dan resin komposit dilapiskan di atasnya, membentuk restorasi kelas II. Pada restorasi ini, glass-ionomer pada bagian proksimal tidak terlindungi oleh resin komposit dan berhubungan langsung dengan lingkungan rongga mulut (Gambar 1A). Sedangkan pada restorasi laminasi tertutup, glass-ionomer dibuat sebagai basis pengganti dentin pada kavitas yang cukup dalam. Glass-ionomer terlindung oleh resin komposit diatasnya dan oleh dinding-dinding kavitas (Gambar 1B).   
Prosedur penumpatan pada restorasi sandwich sangat sederhana. Teknik preparasi pada semua kavitas sama tergantung lokasi karies. Pada restorasi sandwich ini dipergunakan prinsip preparasi minimal. Prosedur penumpatan pada restorasi sandwich harus dilakukan dalam keadaan kering agar dapat perlekatan resin komposit ke permukaan dentin yang dilapisi semen ionomer kaca.
1.     Preparasi dan Lining
Kavitas dipreparasi, semua jaringan karies dibuang dengan menggunakan bur diamond. Diamond stone yang rata atau tungsten karbid bertujuan untuk menyelesaikan tepi enamel. Linier kalsium hidroksida digunakan hanya apabila terlihat keadaan dentin yang hamper terbuka dengan perkiraan dentin yang menutupinya hanya sekitar 1 mm atau kurang. Tetapi kalsium hidroksida tidak boleh menutupi daerah yang besar yang dapat mengganggu bonding semen ionomer kaca. Setelah kavitas dipreparasi, kemudian tepi enamel dibevel.
2.     Perawatan Permukaan
Setelah kavitas dibersihkan, dikeringkan kemudian dioleskan kondisioner pada permukaan kavitas. Ikatan semen ionomer kaca ke gigi dapat diperkuat dengan menggunakan larutan yang mengandung asam poliakrilik, asam tannic atau dodicin.
3.     Pemberian Semen
Kavitas dibersihkan dan dikeringkan. Semen ionomer kaca diinjeksikan ke dalam kavitas dan dibiarkan menutupi tepi kavosurface. Sebagai alternatif, pencampuran dengan tangan secara standar dapat digunakan dan semen tersebut diaduk sampai menyerupai plastic yang berkilau sebelum digunakan. Warna semen harus dipilh agar sesuai dengan warna dentin. Pengerasan semen yang dianjurkan adalah dalam waktu 5 menit.
4.     Preparasi Semen Tepi Enamel
Setelah mengeras selama 5 menit, semen yang berlebihan dilepaskan dari tepi-tepi enamel dan dikamfer ke dinding dentin.
5.     Pemberian Resin Bonding
Salah satu bonding yang dipakai adalah agen bonding. Resin liquid dioleskan segera ke basis semen dan dinding-dinding kavitas. Harus hati-hati untuk memastikan bahwa lapisan tersebut tipis. Sistem visible light cured dianjurkan karena pengerasan yang cepat dari agen bonding adalah penting untuk menjamin semen dan permukaan enamel tidak terkontaminasi.
6.     Pemberian Resin Komposit
Tumpatan resin dimasukkan dan dikontur ke posisinya. Bahan tersebut tidak boleh berlebihan, dan adaptasi yang tepat dapat dicapai dengan pemakaian matriks plastik bening.
7.     Penyelesaian
Setelah disinari, restorasi tersebut diselesaikan dengan bur diamond rata atau bur karbid. Pemolesan restorasi dapat diselesaikan dengan menggunakan “cup polishing” karet abrasif dan bubuk aluminium oksida yang halus.(Mc  Lean, 1985).
 
II.4 Keunggulan dan kekurangan pemakaian semen ionomer kaca dalam teknik sandwich
Keunggulan teknik sandwich antara lain:
1.  Mempunyai kekuatan kompresi yang lebih tinggi daripada hanya menggunakan SIK sebagai restorasi tunggal
2.  sehingga dapat meningkatkan ketahanan terhadap fraktur.
3.  Bersifat adhesi karena lapisan resin terikat dengan pelapik semen ionomer kaca.
4.  Pelepasan fluoride SIK lebih besar daripada komposit atau bahan tumpatan lainnya.
5.  Dapat menghambat kerusakan tepi (microleakage), karena ikatan kimiawi SIK dengan email dan dentin sangat baik.
6.  Bersifat radiopak.
7.  Di samping itu, semen glass ionomer juga bersifat biokompabilitas, yaitu menunjukkan efek biologis yang baik terhadap struktur jaringan gigi dan pulpa. Kelebihan lain dari bahan ini yaitu semen glass ionomer mempunyai sifat anti bakteri, terutama terhadap koloni streptococcus mutant (mount, 1995).
8. Dari segi biaya (cost) jauh lebih murah dibandingkan jika 100% menggunakan bahan tumpatan dari resin estetik, karena semen ionomer kaca harganya jauh lebih murah dibanding bahan tumpatan yang lain.
9. Dilihat dari segi komposisi SIK dan resin komposit yang sama-sama mengandung polikarboksilat sehingga sama-sama hidrofilik sehingga lama-kelamaan warnanya akan terlarut sehingga estetiknya berkurang.
10.  Teknik sandwich hanya dapat digunakan untuk restorasi tipe 1,2,5

BAB III
KESIMPULAN
restorasi sandwich yang merupakan kombinasi dari semen ionomer kaca sebagai basis dengan resin estetis sebagai tumpatannya dengan tujuan untuk fungsi pengunyahan estetis, mencegah terbentuknya celah mikro, meningkatkan kekuatan kompresi, dan emngurangi cost atau biaya daripada menggunakan 100% bahan tumpatan resin estetik. Sandwich yang baik digunakan bahan-bahan resin komposit, bonding dan bahan semen ionomer kaca. Meskipun begitu, dengan menggunakan teknik sandwich ini masih terdapat beberapa kekurangan.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Anusavice, K.J. 2003. Phillips : Science of Dental Materials,11­th Edition. St. Louis : Sounders.
Anusavice, K.J. 2004. Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, edisi 10. EGC: Jakarta.
Association Report Council on Dental Materials and Device. Status report on Glass Ionomer Cement. JADA.1979.99.221-226
Craig, Robert G. 2000. Dental Materials Properties and Manipulation, 7th edition. Mosby Inc: Missouri. Hal: 479-509
Manappallil,J.J. 2003. Basic Dental Materials, 2nd edition. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.: New Delhi. Hal:214-246
Mc  Lean J. W. 1985. The Use of Glass-Ionomer Cements in Bonding Composite Resins to Dentine. Brazilian Dental Journal. 158: 410.
Mount J. G. and Hewlett R. E. 2003. Glass ionomers in contemporary restorative dentistry- a clinical update. Journal Dental California Association.
O’brian dan Ryge. An Ourline of Dental Materials and Thair. Selection. Philadelphia Saundeers.1978. 169-170
Shortall A.C. Marginal Seal of Class V Composite/Glass Ionomer Sandwich restoratrative. Resine.JADA 1987.114: 167-172
 

Keunggulan Amalgam Sebagai Bahan Restorasi Gigi

 
I.1 Latar Belakang Masalah
Amalgam dikenal sebagai bahan restorasi selama lebih dari 170 tahun. Berdasarkan survei yang di lakukan pada tahun 2001, melaporkan bahwa 75% dokter gigi di Amerika serikat memakai amalgam sebagai bahan restorasi gigi. Pada tahun 1999, sekitar 60% amalgam seringkali dijadikan sebagai bahan restorasi kavitas kelas  I dan II. bahkan terdapat persentase penggunaan amalgam yang lebih tinggi dinegara berkembang (Uçar and Brantley, 2011).
Berdasarkan American Dental Association (ADA) No.1 logam campur amalgam terdiri dari perak dan timah sebagai bahan utama serta campuran seperti tembaga dan seng. Selain itu serbuk campuran logam amalgam akan di campurkan dengan Hg atau merkuri. hal ini dilakukan agar memperoleh amalgam yang lebih bersifat plastis dan mudah dimanipulasi ketika di aplikasikan kedalam kavitas gigi. Namun, penggunaan Hg dalam restorasi amalgam sering kali dikhawatirkan dapat menimbulkan efek-efek yang merugikan bagi kesehatan. Baik kesehatan dalam rongga mulut maupun kesehatan secara sistemik. Sehingga penggunaan amalgam sebagai bahan restorasi mulai banyak ditinggalkan dan beralih menggunakan bahan restorasi lain seperti SIK, resin komposit tanpa melihat sifat yang unggul dari amalgam.
Amalgam memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh bahan tumpatan lain. Seperti kekuatan  terhadap tekanan mastikasi yang tinggi. Mudah untuk diaplikasikan kedalam kavitas, perubahan dimensi yang minimal, ketahan terhadap aus dan lain-lain. Maka dari itu dengan melihat keunggulan-keunggulan yang ada dalam amalgam diharapkan akan menjadi pertimbangan untuk tetap menggunakan amalgam sebagai bahan restorasi gigi.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ilmu Konservasi Gigi II dan untuk menjelaskan mengenai amalgam dan keunggulan-keunggulan amalgam sebagai bahan restorasi gigi, serta hubungan antara penggunaan amalgam sebagai bahan restorasi dengan kesehatan rongga mulut maupun kesehatan secara sistemik.
 
I.2 Perumusan Masalah
1.     Apakah keunggulan amalgam sebagai bahan restorasi gigi?
2.     Apakah penggunaan amalgam berbahaya bagi kesehatan rongga mulut ataupun kesehatan secara sistemik?
3.     Bagaimana cara memilnimalisir efek merugikan yang ditimbulkan akibat penggunaan amalgam sebagai bahan restorasi ?
 
 
BAB II
 
II.1 AMALGAM
       Komposisi amalgam
            Amalgam adalah salah satu bahan restorasi gigi yang sering digunakan. Lebih dari 150 tahun amalgam digunakan sebagai bahan restorasi karena sifatnya yang sangat kuat dan tahan lama didalam rongga mulut (solanki, 2012). Menurut American Dental Association (ADA) no.1 mengharuskan agar logam campur amalgam mempunyai bahan utama perak dan timah dan unsur-unsur lain seperti tembaga, seng, merkuri, emas dengan konsentrasi yang kurang dari besar konsentrasi timah dan perak. Penambahan material tersebut kedalam bahan campur amalgam bertujuan untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanik dari restorasi amalgam (Uçar and Brantley, 2011). Konsentrasi perak dalam logam campur amalgam adalah 40%-70% dan timah 12%-30%, tembaga kurang dari 12%-24%, paladium 0,5%, indium 1% dan seng sampai dengan 1% (bharti et al, 2010). Kandungan logam tersebut memiliki fungsi tersendiri, kandungan perak dalam logam campur amalgam berfungsi untuk menigkatkan kekuatan amalgam, menurunkan creep, dan memperbesar reaktivitas logam campur dengan merkuri. kandungan timah berperan dalam meningkatkan reaktivitas dan korosi, namun dapat menurunkan kekuatan dan kekerasan. selain itu, pula kandungan tembaga dalam logam campur amalgam berfungsi untuk menaikan kekuatan, ekpansi dan kekerasan serta dapat menurunkan creep. zink berfungsi untuk meningkatkan plastisitas, kekuatan serta mampu menurunkan creep. Merkuri berfungsi untuk memberikan kelembapan terhadap logam campur amalgam (solanki, 2012). Beberapa peneliti berpendapat bahwa indium yang terkandung berfungsi untuk pengurangan creep dan meningkatkan kekuatan terhadap tekanan mastikasi, sedangkan kandungan paladium berperan dalam proses pencegahan korosi (bharti et al, 2010). Untuk mendapatkan amalgam, merkuri dicampur dengan bubuk dari logam campur amalgam  dengan prosedur pencapuran yang disebut triturasi. Produk dari triturasi ini adalah merupakan suatu masa plastis. Selama proses triturasi, merkuri akan melarutkan partikel logam campur untuk membentuk fase yang baru. Fase baru yang terbentuk cenderung memiliki titik cair diatas temperatur normal di dalam rongga mulut. Cara manipulasi logam campur amalgam dengan merkuri sangat mempengaruhi sifat fisik dan kimiawi dari amalgam. Hal ini merupakan kunci dari keberhasilan dalam melakukan restorasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi kulitas dari restorasi amalgam adalah :
a.     pemilihan logam campur
b.     rasio merkuri dan logam campur
c.     prosedur triturasi
d.     teknik kondensasi
e.     karakteristik anatomi dari gigi yang dilakukan restorasi
f.      hasil akhir
(anusavice, 2003)
secara umum, berdasarkan kandungan tembaganya, amalgam dibagi menjadi 2 yaitu:
1.     amalgam dengan kandungan tembaga yang rendah
amalgam dengan kandungan tembaga yang rendah disebut juga dengan amalgam konvensional atau amalgam tradisional, komposisi dari amalgam konvensional ini terdiri dari 65% perak, 25% timah, kurang dari 6% tembaga dan 1% zinc.
2.     amalgam dengan kandungan tembaga yang tinggi
amalgam dengan kandungan tembaga yang tinggi cenderung memiliki sifat yang lebih baik jika dibadingkan dengan amalgam dengan kandungan tembaga yang rendah. Pada amalgam dengan kandungan tembaga yang tinggi memiliki keunggulah untuk mengurangi kelemahan yang dapat terjadi selama proses phase selain itu pada amalgam ini terlihat adanya peningkatan kekuatan, korosi dan ketahanan terhadap kerusakan pada daerah tepi (gladwin and bagby, 2004).
Selain berdasarkan jumlah tembaganya, amalgampun dapat diklasifikasikan berdasarkan isi, berdasarkan keberadaan zinc, berdasarkan banyaknya jenis logam, berdasarkan bentuk partikel serta berdasarkan pengembangan alloy (solanki, 2012).
Sifat dan karakteristik amalgam
            Idealnya, amalgam harus dapat mengeras tanpa mengalami perubahan dimensi dan tetap stabil. Akan tetapi perubahan dimensional amalgam dapat terjadi seperti memuai atau menyusut, hal ini  tergantung dari bagaimana cara memanipulasinya. Adanya penyusutan pada amalgam dalam rongga mulut, dapat memicu terjadinya kebocoran mikro yang sering menjadi faktor utama terbentuknya karies sekunder. Sedangkan ekpansi atau pemuaian yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada daerah pulpa. Spesifikasi ADA no.1 menerangkan bahwa amalgam dapat berkontraksi atau berekpansi sekitar 20 Kontraksi amalgam terjadi sewaktu partikel-partikel larut dan terbentuk fase . Perhitungan menunjukan bahwa terjadi perubahan volume perak sebelum memasuki fasedan setelahnya. Perubahan dimensi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh cara triturasi dan rasio yang digunakan. Logam campur amalgam yang lebih rendah dari merkuri cenderung akan menyebbkan kontraksi, selain itu, tekanan pada saat kondensasi yang berlebihan dapat menimbulkan kontraksi. hal ini terjadi karena dengan adanya tekanan yang tinggi pada saat kondensasi akan cenderung memeras merkuri. Selain itupula waktu triturasi yang lebih lama dan ukuran partikel logam campur yang lebih kecil dapan memperbesar kemungkinan terjadinya kontraksi. Sementara ekspansi terjadi karena rasio merkuri lebih besar dari rasio logam campur amalgam yang digunakan. selain itu ukuran partikel logam campur yang cenderung besar dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya ekspansi.
            Amalgam memiliki kelemahan dalam melawan tekanan mastikasi yang cukup kuat. Kelemahan ini dapat menyebabkan kegagalan dalam restorasi. Kekuatan dari amalgam biasanya terjadi karena manipulasi yang tidak baik, seperti triturasi yang kurang benar ataupun kandungan merkuri yang cukup agar terjadi proses amalgamasi yang sempurna dan mengahasilkan kekuatan yang cukup. Kelebihan merkuri dapat menurunkan kekuatan dari amalgam sedangkan kekurangan kandungan merkuri dapat menyebabkan adanya logam campur yang kering sehingga akhirnya membentuk suatu permukaan yang kasar dan dapat mempercepat terjadinya korosi. Selain itu juga, kekuatan dari amalgam di pengaruhi oleh efek kondensasi dan efek porositas. Kelemahan dalam melawan tekanan mastikasi ini, sering menjadikan restorasi mudah pecah yang dapat menyebabkan kebocoran dan karies sekunder (annusavice, 2003).
            Amalgam memiliki tekanan kompresi yang tinggi ,namun memiliki kelemahan dalam beradaptasi terhadap gaya geser dan tarik. Amalgam seringkali digunakan untuk restorasi kavitas kelas I, II, V dan VI (galdwin and bagby, 2004).
            Creep adalah salah satu sifat amalgam yang berhubungan dengan tingkat kerusakan pada daerah tepi restorasi. Creep pada amalgam yang memiliki kandungan tembaga yang rendah cenderung lebih tinggi jika di bandingkan dengan amalgam dengan kandungan tembaga yang tinggi. Creep pada amalgam cenderung lebih lemah. Sifat dan karaketeristik amalgam tergantung dari komponen penyusunnya, ukuran besar partikel dan manipulasi dari amalgam itu sendiri. Sifat-sifat yang menjadi kelemahan amalgam dapat di minimalisir dengan cara melakukan dan memperhatikan secara seksama bagaimana cara memanipulasi amalgam yang baik dan benar  (anusavice, 2003).
            Durabilitas pada amalgam dikenal sangat baik, amalgam dengan kandungan tembaga yang tinggi cenderung memiliki durabilitas lebih panjang jika dibandingkan dengan amalgam dengan kandungan tembaga yang sedikit. Menurut survei yang telah dilakukan, durabilitas dari 50% amalgam dalam rongga mulut adalah sekitar 11,5 tahun. Durabilitas dari restorasi amalgam tidak dipengaruhi oleh luas daerah yang dilakukan restorasi (bharti et al, 20120). Kegagalan restorasi amalgam yang sering ditemui biasanya adalah adanya fraktur secara keseluruhan yang meliputi fraktur gigi dan juga fraktur restorasi amalgam (4,6%), fraktur gigi (1,9%), fraktur pada daerah tepi (1,3%), dan sekitar 0,8% penyebab lain yang dapat membuat kegagalan restorasi amalgam. Survei lainnya menggambarkan bahwa Berdasarkan penelitian secara klinis, jangka hidup untuk tumpatan sederhana amalgam pada kelas I adalah 15-18 tahun. Kelas II amalgam sekitar 12 sampai 15 tahun. Jenis makanan yang dikonsumsi oleh pasien, serta tingkat kebersihan mulut pasien sangat memiliki peran yang penting dan dapat mempengaruhi durabilitas dari bahan restorasi yang digunakan (galdwin and bagby, 2004).
            Amalgam dapat terkorosi secara galvanik, hal ini dapat terjadi jika terdapat dua macam bahan tumpatan yang berbasis metal dalam rongga mulut dalam waktu yang bersamaan. Permukaan amalgam yang mengalami korosi akan memicu kerusakan daerah tepi dan fraktur (Galdwin and Bagby, 2004).
 
Merkuri dalam amalgam untuk restorasi gigi
            Air raksa atau merkuri sangat penting dalam sifat fisik restorasi amalgam. Analisis dari restorasi secara klinis menunjukan adanya variasi yang besar dalam kandungan air raksa, tipikal, konsentrasi air raksa yang lebih tinggi adalah pada bagian tepi restorasi. Kandungan air raksa atau merkuri pada bagian tepi memiliki nilai 2-3% lebih tinggi daripada badan tambalan. Kandungan merkuri yang besar pada bagian tepi sangatlah penting Karena pada daerah tepi sangat rentan terhadap korosi, patah dan terjadinya karies sekunder. Kandungan merkuri yang terlalu tinggi dari suatu retorasi amalgam, akan dapat menurunkan kekuatannya. Semakin tinggi kandungan merkuri , akan menunjukan nilai kegagalan restorasi yang juga semakin tinggi. Oleh karena itu, sangatlah penting memperhatikan rasio antara logam campur amalgam dan merkuri yang digunakan pada saat akan melalukan restorasi kavitas (annusavice, 2003). Namun, pada akhir-kahir ini, keberadaan merkuri dalam campuran restorasi amalgam sangat dicemaskan dapat memicu penyakit-penyakit yang terjadi dalam rongga mulut ataupun penyakit-penyakit yang bersifat sistemik.
 
Toksisitas Merkuri Dalam Restorasi Amalgam
            kandungan merkuri dalam bahan restorasi amalgam dalam beberapa peristiwa memang dapat menyebabkan terjadinya reaksi hipersensitivitas atau alergi. Tetapi peristiwa alergi yang terjadi pada pasien yang menggunakan restorasi amalgam tidaklah signifikan, karena tidak setiap pasien yang melakukan treatment menggunakan amalgam mengalami alergi. Beberapa penelitian menerangkan bahwa penggunaan restorasi amalgam dapat pula menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan secara sistemik seperti kerusakan pada ginjal, alergi atau hipersensitivitas atau gangguan terhadap neurobehavior. Namun, apabila penggunaan alamgam dilakukan secara benar, tidak akan terjadi masalah terhadap biokombatibilitas dari restorasi amalgam (Craig, 1993).
Seseorang dapat terpapar merkuri dari diet makanan, minuman, udara, dan restorasi amalgam. Merkuri yang terlepas dari bahan restorasi amalgam biasanya terjadi akibat adanya penguapan merkuri. Uap merkuri pada manusia dapat ditemukan pada hembusan nafas, pada rongga mulut dengan keadaan mulut terbuka atau teertutupmelalu kateter yang dipasang ditrakea melalu bronkoskop. Data dari penelitian menjelaskan bahwa merkuri secara terus menerus terlepas dalam rongga mulut dari bahan restorasi amalgam. Tingkat pelepasan merkuri pada seseorang dipengaruhi oleh banyak factor yaitu area restorasi, usia, diet, komposisi amalgam, dan kuantitas permukaan yang mengalami oksidasi. Uap merkuri dapat terlarut pada udara intraoral ataupun oleh saliva, kemudian dapat penetrasi ke organisme melalui banyak cara (Uçar and Brantley, 2011).
            World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa ditemukan kadar merkuri dalam urin yang lebih tinggi yaitu sekitar 5 sampai 20  pada orang yang mengkonsumsi seafood dengan frekuensi seminggu sekali jika dibandingkan dengan kadar merkuri akibat pajanan restorasi amalgam yaitu sekitar 1 atau sekitar 1 mg/ (Craig, 1993). WHO merekomendasikan nilai batas paparan merkuri jangka panjang untuk para pekerja atau operator adalah sebesar 25  selain itu WHO merekomendasikan paparan yang merkuri untuk wanita dalam masa subur harus lebih rendah dari nilai standar yaitu sekitar 10  (bindslev1991).
Penguapan merkuri dari bahan restorasi amalgam lebih kecil jika dibandingkan dengan pengkonsumsian berbagai jenis ikan. Peningkatan kadar amalgam dalam urin dan darah dapat dipengaruhi oleh berbagai factor, tidak hanya dipengaruhi oleh merkuri yang berasal dari bahan restorasi amalgam. Secara keseluruhan merkuri yang berasal dari amalgam hanya memberikan sedikit pengaruh terhadap total kadar merkuri dalam tubuh .  secara epidemiologi, kadar merkuri dalam urin dan darah berkolerasi dengan jumlah paparan yang berasal dari lingkungan dan diet (Craig, 1993).
 
Penelitian Mengenai Merkuri Dalam Bahan Restorasi Amalgam
Berdasarkan artikel dan data yang telah di review dalam jurnal “Biocompatibility of Dental Amalgam” menginformasikan bahwa merkuri yang terlepas dari restorasi amalgam dalam rongga mulut tidak berkontribusi terhadap penyakit sistemik atau efek toksik sistemik. Jones (1999) melaporkan bahwa tidak ada bukti kesimpulan dalam literatur ilmiah yang menerangkan hubungan antara penyebab gangguan neurologi ireversibel atau disfungsi renal dengan penguapan merkuri dari restorasi amalgam. Polusi merkuri dari kedokteran gigi tidak sesignifikan dibandingkan dengan yang berasal dari penggunaan pada industri dan sumber alam. Kemudian, reaksi alergi akibat merkuri dalam bahan restorasi amalgam dapat terjadi, tetapi dengan frekuensi yang sangat jarang. Reaksi alergi terhadap merkuri terjadi pada pasien dengan restorasi amalgam, seperti dermatitis, gingivitis, stomatitits, dan reaksi kutaneus. Reaksi alergi terhadap restorasi amalagam biasanya hilang dalam beberapa hari atau setelah pelepasan restorasi amalgam tersebut. Berdasarkan data ilmiah yang menerangkan bahwa adanya efek-efek tertentu terhadap kesehatan, tidak dapat dijadikan sebagai acuan untuk pemberhentian penggunaan amalgam atau penggantiannya dengan restorasi lain. Terdapat kasus-kasus dimana amalgam adalah satu-satunya pilihan tanpa alternatif lain (Uçar and Brantley, 2011).
Reaksi alergi terhadap merkuri yang terkandung dalam restorasi amalgam jarang terjadi, walaupun ada kasus yang melaporkan alergi kontak dermatitis, gingivitis, stomatitis dan terjadi sedikit reaksi kutaneus. Respon ini biasanya menghilang jika amlgam di hilangkan. Efek lokal atau sistemik lain dari merkuri yang terkandung dalam restorasi amalgam belum dapat dibuktikan. Tidak ada studi ilmiah yang pasti bahwa restorasi amalgam memberikan suatu efek yang buruk. Selain itu, Laporan mengenai insidensi multiple sclerosis tidak dapat dihubungkan secara pasti bahwa amalgam sebagai penyebabnya. Tidak ada bukti secara ilmiah hubungan antara hilangnya insidensi multiple sclerosis dengan menghilangkan restorasi amalgam didalam rongga mulut (Craig, 1993).
Menurut penelitian yang dilakukan Bharti et all pada tahun 2010, dalam jurnalnya yang berjudul “dental amalgam : An Update” menerangkan bahwa insidensi alergi dari merkuri jarang terjadi dan hubungan kandungan merkuri dalam restorasi amalgam dengan penyakit multiple sclerosis dan penyakit alzheimer belum dapat dibuktikan secara signifikan. Walaupun mungkin ada beberapa hubungan diantara restorasi amalgam dengan lesi oral lichenoid.
Manifestasi oral akibat keracunan merkuri seperti terjadinya gingivitis parah, gusi berdarah, ulserasi, oral mukosa, pembengkakan glandula saliva, hiposalivasi atau hipersalivasi yang telah diteliti menunjukan insidensi dari kasus tersebut sangatlah jarang.
Sekelompok peneliti dari berbagai asal didunia telah meneliti tentang keamanan amalgam, dan tidak ada bukti bahwa sejumlah kecil merkuri yang keluar dari bahan tumpat amalgam berkontribusi dalam penyakit maupun efek toksik sistemik. Sehingga tidak ada alasan untuk menhentikan penggunaan amalgam sebagai bahan tumpatan atau merekomendasikan untuk mengganti tumpatan amalgam yang ada dengan bahan restorsi yang lain. Apalagi tidak ditemukannya hubungan antara amalgam dengan berbagai macam sklerosis, penyakit Alzheimer, myalgic encephalitis maupun migrain.
Informasi lainnya adalah mengenai efek merkuri di bahan tumpat amalgam pada ibu hamil. Studi menunjukan tidak ada hubungan restorasi amalgam dengan kadar merkuri pada darah ibu hamil, cairan amniotic, susu, maupun darah bayi baru lahir. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa kadar merkuri yang tinggi akan berbahaya dan dokter gigi harus bisa menanganinya dengan benar sehingga lingkungan tidak terkontaminasi baik oleh merkuri maupun amalgam sisa. Selain itu, pentingnya peran amalgam dalam polusi merkuri terhadap lingkungan juga perlu di perhatikan. Report pada tahun 1992 oleh United States Enviromental Protection Agency menunjukkan bahwa pada tahun 1989 sampah baterai yang dibuang menyumbang sekitar 86% dari limbah merkuri, sementara bahan tumpat amalgam hanya 0.56%. Jumlah ini sangat kecil bila dibandingkan dengan sumber polusi merkuri yang lain dan angka tersebut sudah turun sekitar 75% dalam 20 tahun terakhir, karena kesadaran dan respon dari profesi dokter gigi terhadap zat berbahaya (kidd and smith, 2003). 
Keamanan amalgam untuk perawatan restorasi telah direview berulang kali oleh beberapa kelompok peneliti berbeda di Amerika Serikat. US Public Health Service (USPHS) mempublikasi laporan ilmiah secara luas mengenai keamanan amalgam pada tahun 1993, dan kesimpulan dari laporan ini disahkan pada tahun 1995 dan 1997. USPHS menganalisis 175 studi peer-review dan melaporkan bahwa data dalam studi tersebut tidak menjamin sebuah kesimpulan bahwa merkuri yang lepas dari restorasi amalgam dapat menyebabkan masalah neurologis, renal, dan perkembangan. Di sisi lain, studi-studi sebelumnya telah mencatat bahwa restorasi amalgam dapat menyebabkan reaksi aleri atau hipersensitivitas walaupun jarang. Bahkan jika kebanyakan peneliti setuju bahwa data yang tersedia tidak menerangkan bahwa limbah kesehatan yang disebabkan oleh restorasi amalgam. terdapat beberapa negara yang sedikit atau membatasi penggunaan amalgam. Health Canada (1996) telah merekomendasi bahwa penggunaan amalgam dihindari untuk individu yang hipersensitivitas, orang dengan gangguan fungsi renal, anak-anak, dan wanita hamil. German ministry of health (1997) dan Commission of the European Union (2008) juga telah menyatakan bahwa restorasi amalgam tidak seharusnya ditempatkan untuk kelompok yang hipersensitivitas, memiliki gangguan fungsional, atau yang termasuk kategori khusus (Uçar and Brantley, 2011).
Council of Scientific Affairs dari American Dental Association (ADA) menyimpulkan pada tahun 1998 bahwa amalgam selanjutnya menjadi material restorasi yang aman dan efektif dalam pandangan informasi ilmiah yang tersedia pada waktu itu, dan ADA mengesahkan pernyataan ini pada tahun 2002, 2003, dan 2009. ADA menyatakan bahwa jika organisasi telah mengajukan bahwa amalgam memperlihatkan perawatan untuk kesehatan gigi pasien, mereka akan menyarankan anggota mereka menggunakan material ini untuk restorasi. ADA telah menyimpulkan bahwa amalgam menawarkan pilihan perawatan yang aman dan cost-effective. Baru-baru ini, Council of European Dentists (CED) mendeklarasi bahwa amalgam selanjutnya menjadi material yang paling tepat untuk banyak restorasi disebabkan oleh kemudahan penggunaan, ketahanan, dan harga yang efektif (Uçar and Brantley, 2011).
 
 Meminimalisir Efek Merkuri yang Terkandung Dalam Restorasi Amalgam
Resiko merkuri dapat diminimalisir, apabila dilakukan langkah-langkah berikut:
1.  Tempatkan merkuri pada tempat dengan segel rapat
2.  Bersihkan segera semua komponen yang terkena merkuri.
3.  Gunakan kapsul yang rapat selama proses amalgamasi
4.  Gunakan teknik tanpa sentuh selama pengaplikasian amalgam
5.  Simpan semua kepingan amalgam dalam air yang mengandung sodium thiosulfate
6.  Bekerja pada ruangan dengan ventilasi yang baik
7.  Hindari pemasangan karpet pada ruang perawatan karena proses dekontaminasi
     pada karpet sulit.
8.  Kurangi penggunaan bahan yang memakai merkuri.
9.  Hindari pemanasan pada merkuri dan amalgam.
10.Gunakan semprot dan suction air ketika grinding amalgam.
11.Gunakan prosedur amalgam konvensional, secara manual maupun mekanis. Jangan gunakan condenser amalgam ultrasonik.
12. Tentukan level paparan uap merkuri pada operator secara periodik.
(Craig, 1993).
Perkembangan Bahan Restorasi Amalgam
Amalgam Bebas Merkuri
Cara terbaik untuk menghindari pelepasan merkuri adalah dengan mengganti merkuri dalam restorasi amalgam dengan menggunakan Gallium. Gallium adalah suatu metal yang berwarna putih keperakan yang memiliki titik leleh sedikit diatas merkuri. Gallium memiliki penguapan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan merkuri. Bahan campurnan restorasi hampir mirip dengan amalgam konvesional yang di triturasi dengan cairan gallium. Dimana titik leleh akan menurun dengan melakukan penambahan indium dan timah. Dilihat dari sifak mekanis bahwa ekspansi selam asetting, creep dan kekuatan kompresinya setara atau dibawah dengan amalgam yang menggunakan cairan merkuri. Kondensasi sangat sulit dan porositas akan cenderung meningkat, selain itu pada amalgam yang menggunakan gallium sebagai cairannya, cenderung memiliki adaptasi yang rendah pada daerah tepi restorasi. Selain itu kecenderungan terjadinya korosi akan lebih besar jika dibandingkan dengan amalgam yang mengandung merkuri. Secara klinis ditemukan adanya tarnish, fraktur pada komponen daerah yang keras, serta sensitivitas pasca opertatif 2 kali lebih tinggi dari amalgam yang mengandung merkuri. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan Ga-alloy secara klinis memiliki kemampuan mekanis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan amalgam yang menggukan merkuri sebagai komponen cairannya (Schmalz and Arenholt, 2009).
Prediksi bahwa amalgam tidak akan bertahan sampai akhir abad ke-20 adalah salah. Penampilannya yang kurang baik, ketidakmampuannya untuk berikatan dengan gigi, dan pendapat tentang merkuri dan keburukan materialnya tidak membuat amalgam ditinggalkan karena harganya yang murah dan kemampuannya bertahan lama. Karena perkembangan dari material dan teknik lain, penggunaan amalgam sepertinya akan menghilang dari peredaran. Tetapi, amalgam berlanjut menjadi bahan terbaik di dalam armamentarium restorative karena ketahanan dan teknik insensitivitasnya. Amalgam mungkin akan menghilang, tetapi kehilangannya akan digantikan oleh bahan yang lebih baik, penampilannya lebih bagus dan lebih memperhatikan masalah kesehatan (Bharti et al, 2010).
 
 Keunggulan Menggunakan Amalgam
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki amalgam sebagai bahan restorasi gigi adalah :
1.     memiliki surabilitas yang baik, Menurut survey yang telah dilakukan,durabilitas dari 50% amalgam dalam rongga mulut adalah sekitar 11,5 tahun. Durabilitas dari restorasi amalgam tidak dipengaruhi oleh luas daerah yang dilakukan. Direstorasi (bharti et all,20120).  Survey lainnya menggambarkan bahwa Berdasarkan penelitian secara klinis, jangka hidup untuk tumpatan sederhana amalgam pada kelas I adalah 15-18 tahun. Kelas II amalgam sekitar 12 sampai 15 tahun. Hal yang penting untuk diingat adalah pasien memiliki pertimbangan tersendiri untuk bahan tumpatanyang memiliki durabilitas yang panjang. Jenis makanan yang dikonsumsi oleh pasien, serta tingkat kebersihan mulut pasien sangat memiliki peran yang penting dan dapat mempengaruhi durabilitas dari bahan restorasi yang digunakan (galdwin and bagby, 2004).
2.     Tekniknya tidak menimbulkan sensitif
3.     Dapat diaplikasi pada berbagai kasus
4.     Formulasi terbaru memiliki resistensi yang panjang terhadap korosi
5.     Mudah dimanipulasi
6.     Waktu pengerjaan lebih pendek dibanding material lain
7.     Sering dapat reparasi
8.     Murah
9.     Manipulasi mudah
10.  Pengerjaan pada pasien hanya memerlukan satu kali waktu pertemuan
11.  Kekuatan kompresi baik
(Solanki et al, 2012)
            Karena kekerasan dan resistensi pemakaian, amalgam adalah bahan tumpatan yang tahan lama dengan harga yang relatif murah. Saat pencampuran, amalgam memiliki kemampuan untuk memperkuat tepi pemakaian saat penggunaanya. Pada saat tepinya terkorosi, gigi/restorasi yang dihadapannya akan mengisi dengan bahan korosinya sehingga kebocoran mikronya akan berkurang. Sering kali tepi dari tumpatan amalgam mungkin terlihat pecah tapi sebenarnya kavitas terisi dengan baik dibawah permukaannya. Penelitian secara klinis menunjukkan integritas marginal dari amalgam faktor prediksiyang buruk dari karies reccurent.Amalgam merupakan bahan restorasi permanen yang tekniknya tidak paling sensitif pada praktik dokter gigi.  Pada saat proses pencampuran, hanya amalgam yang mungkin dapat dikerjakan dengan baik meskipun ditempat yang lembab maupun lingkungan yang terkontaminasi. Jangka hidup bahan restorasi amalgam, seperti pada bahan tumpatan permanen lainnya secara tidak langsung juga berkaitan dengan besarnya daerah yang di restorasi. Seiring dengan bertambahnya daerah yang direstorasi, tekanan pada bahan restorasi juga meningkat, dan jangka hidupnya berkurang. Berdasarkan penelitian secara klinis, jangka hidup untuk tumpatan sederhana amalgam pada kelas I adalah 15-18 tahun. Kelas II amalgam sekitar 12 sampai 15 tahun. Hal yang penting untuk diingat adalah pasien memiliki pertimbangan tersendiri untuk bahan tumpatan dengan jangka hidup yang lama. Makanan serta kebersihan mulut pasien sangat penting dan dapat berontribusi dalam lamanya jangka hidup bahan restorasi yang mereka gunakan (Galdwin and Bagby, 2004).
 
BAB III
KESIMPULAN
Dari apa yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1.     Amalgam merupakan salah satu bahan restorasi gigi yang sering digunakan
Yang terdiri dari alloy perak dan cairan merkuri.
2.     Kandungan merkuri dalam amalgam dapat bersifat toksik apabila rasio dan cara manipulasi merkuri yang digunakan tidak tepat. Insidensi gangguan kesehatan akibat merkuri dalam restorasi amalgam sangatlah kecil.
3.     Berdasarkan penilitian bahwa sampai saat ini amalgam masih layak digunakan sebagai bahan restorasi gigi.
 
 BAB IV
Daftar Pustaka
Annusavice, Kenneth J. 2003Buku Ajar Ilmu Biomaterial Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.
Bindslev, Preben Hörsted, et al. 1991. Dental Amalgam – A Health Hazard?. Jakarta: EGC.
Bharti, Ramesh, et al. 2010. Dental Amalgam: An Update. Jounal Conservation Dental. 2010 oct-dec;13(4):204-208.
Craig, Robert G. 1993. Restorative Dental Materials. Mosby-year Book, Inc.
Gladwin, M.;Bagby, M. 2004. Clinical Aspect of Dental Materials, Theory, Practice, and Cases; 2nd edition. Maryland : Lippincott Williams & Wilkins.
Kidd, E.A.M, Smith, B.G.N. 2003. Pickard’s Manual of Operative Dentistry : Eighth edition. Oxford : Oxford University Press.
Schmalz, Gottfried and Bindslev, Dorthe Arenholt. 2009. Biocompatibility of Dental Material. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Solanki, Gaurav.2012. Amalgam Restorasi – An Overview. International Journal of Biomedical Research. Vol. 2012. Pages 08-14.
Uçar, Yurdanur and William A. Brantley. 2011. Biocompatibility of Dental Amalgams. International Journal of Dentistry. Vol. 2011. Pages: 1-7.

Diagnosa Orthodontik

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
Makalah ini pada dasarnya disusun sebagai syarat dalam memenuhi tugas Ortodonsia II dan untuk menjelaskan mengenaidiagnosa ortodontik.
Suatu kasus ortodontik dalam pemenuhan tujuan akhirnya dalam hal tindakan estetis maupun kasus maloklusi gigi geligi, terlebih dahulu haruslah terlibat dalam penegakan diagnosa, sebelum akhirnya sampai dalam penanganan dan perawatan ortodontik. Diagnosa ortodontik bukanlah hal mudah yang dapat diambil konklusinya dengan cepat dan tepat. Langkah-langkah awal dalam hal pengambilan diagnosa merupakan kegiatan wajib yang patut diketahui dan dilakukan oleh praktikan akademika calon maupun dokter gigi terkait.
Langkah tepat dalam penegakan diagnosa pasien akan menolong pasien tersebut dalam melengkapi tujuan ortodontik yang diinginkan. Analisa kasus pasien dengan seksama dan menyeluruh selanjutnya akan membantu dalam rencana perawatan yang akan diberikan dokter gigi terhadap pasiennya. Dalam makalah ini, akan dijelaskan bagaimana peranan penting diagnosa tersebut terhadap kelangsungan prognosis pasien terkait anomali maupun maloklusi yang diderita pasien tersebut.
Diagnosa ortodontik yang benar dan sesuai akan menuntun dokter gigi menuju ke arah tujuan ortodontik pasien yang diharapkan.
I.2 Perumusan Masalah
1.     Apakah yang dimaksud dengan diagnosa ortodontik?
2.     Bagaimana peran diagnosa ortodontik terhadap tujuan ortodontik dokter gigi?
3.     Bagaimana pelaksanaan praktik kedokteran gigi dalam menegakkan diagnosa ortodontik?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Definisi Diagnosa Ortodontik
Menurut Rakosi dkk (1993), diagnosa didefinisikan sebagai sebuah alur sistematis dalam menentukan kelainan; menemukan kelainan, perencanaan terapi dan penjabaran indikasi, yang mengarahkan dokter untuk dapat melakukan tindakan. Pengertian diagnosa adalah mempelajari dan menyimpulkan data mengenai problem klinis dengan tujuan menentukan ada atau tidaknya keadaan abnormal. (Eka, 2012)
Menurut Salzmann (1950), diagnosa dibedakan atas Diagnosa Medis (Medical diagnosa) yaitu suatu diagnosa yang menetapkan penyimpangan dari keadaan normal yang disebabkan oleh suatu penyakit yang membutuhkan tindakan medis atau pengobatan, dan Diagnosa Ortodontik yaitu diagnosa yang menetapkan suatu kelainan atau anomali oklusi gigi-gigi (bukan penyakit) yang membutuhkan tindakan rehabilitasi.
Diagnosa ortodonti berbeda dengan diagnosa medis lainnya. Diagnosa medis berhubungan dengan hal-hal yang bersifat patologis/penyakit, sedangkan diagnosa ortodontik berhubungan dengan kelainan yang berhubungan dengan hal-hal menyangkut gigi, rahang dan wajah (dentofasial), terutama kelainan dalam hubungan gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah (maloklusi). (Eka, 2012)
Dalam diagnosa ortodontik, biasanya digunakan analisa individual untuk mendapatkan diagnosa yang benar.Informasi yang didapatkan harus objektif, relevan, dan akurat. Kriteria diagnostik ortodontik, harus mencakup keseluruhan sistem orofasial, dan juga harus selektif. Analisa individual akan menunjukkan perkembangan sistem mastikasi tiap individu, yang oleh Andersen (1931) disebut ‘individual optimum’. Analisa data individual secara sistematis dapat menentukan tipe dalam kelompok kasus pada diagnosa. Pengelompokan kasus-kasus yang sama ke dalam kelompok yang lebih besar, selanjutnya akan dibagi ke dalam klasifikasi berdasarkan tipe-tipe kelainan yang ditemukan. (Rakosi dkk, 1993) Menurut Schwarz (Iman, 2008), diagnosa ortodontik dapat dibagi menjadi:
1.   Diagnosa Biogenetik (Biogenetic diagnosa)
2.   Diagnosa Sefalometrik (Cephalometric diagnosa)
3.   Diagnosa Gigi geligi (Dental diagnosa)
Diagnosa ortodontik terdiri atas daftar semua aspek menyimpang yang berhubungan dengan oklusi. Hal ini mendahului rencana perawatan yang dilakukan karena hubungannya dengan berbagai macam faktor dan dampak pada perawatan dari diagnosa yang perlu dipertimbangkan. (Heasman, 2003)
Dalam menangani setiap kasus ortodonti, para praktisi harus menyusun rencana perawatan yang didasarkan pada diagnosa. Menurut Eka (2012), keberhasilan perawatan ortodonti sangat ditentukan oleh diagnosa, rencana perawatan, dan mekanoterapi yang tepat. Untuk menetapkan diagnosa, ada prosedur standar yang mutlak untuk dilakukan. Prosedur standar tersebut menurut Rakosi dkk (1993) meliputi anamnesis, pemeriksaan klinis intra dan ekstra oral, analisa fungsional, analisa ronsenologis, analisa fotografi, pemeriksaan radiologis, dan  analisa model studi,  yang dilakukan  baik  secara langsung maupun tidak langsung pada pasien. Setiap komponen data tersebut memiliki peran yang sama pentingnya dalam menentukan diagnosa ortodontik (Eka, 2012). Diagnosa dilakukan berdasarkan pengumpulan informasi secara akurat tentang pasien dari pemeriksaan kasus secara logis. (Heasman, 2003)
1.   Anamnesis
A.   Waktu
Pada saat usia 7 sampai 8 tahun, pemeriksaan terhadap perkembangan oklusi sangat perlu untuk dicatat, seperti bentuk, posisi dan adanya incisivus permanen dan untuk  merencanakan intervensi yang sesuai terhadap abnormalitas yang ditemukan yang akan mempengaruhi urutan erupsi normal. Prognosis dari gigi molar pertama permanen harus diperiksakan secara rutin sejak umur 8 tahun, dan palpasi dari kaninus maksila yang akan erupsi ke lengkung gigi sekitar umur 10 tahun. Deteksi awal dari diskrepansi skeletal juga akan menunjukan waktu yang optimal untuk perawatan agar dapat memaksimalkan potensi pertumbuhan, tapi pada kebanyakan anak-anak pemeriksaannya tertunda sampai gigi permanen telah erupsi.
Semua dokter gigi harus dapat melakukan pemeriksaan ortodontik dasar untuk pasienya dan merujuk ke spesialis apabila diperlukan. Ketika pertumbuhan gigi dan/atau oklusal menyimpang dari normal, atau ketika diskrepansi secara signifikan pada pembentukan dentofasial atau hubungan oklusal pada pasien yang menyangkut pasien dan berpengaruh terhadap kesehatan gigi dalam jangka waktu yang lama, hal tersebut diindikasikan untuk dirujuk.Selain dari data personal, surat rujukan harus mengandung referensi secara spesifik terhadap:
·      Persepsi pasien terhadap masalah
·      Catatan kehadiran mereka
·      Tingkat kepekaan mereka terhadap kesehatan gigi termasuk orang tuanya (jika perlu)
·      Status kebersihan oral
·      Perkiraan prognosis dari gigi terestorasi maupun trauma
Gambaran radiografi terbaru serta cetakan model rahang pasien juga penting disertakan saat memberikan rujukan.
       Pemeriksaan ortodontik meliputi 3 tahap yaitu :
a.   Riwayat yang lengkap
b.   Pemeriksaan klinis yang sistematik dan mendalam
c.   Pengumpulan informasi yang relevan dari evaluasi khusus yang diperlukan
B.    Kepentingan perawatan
Kebutuhan perawatan ortodontik pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor utama:
·      Faktor pasien/orang tua, dimana termasuk jenis kelamin, umur, tingkat kepercayaan diri, persepsi diri dan lingkungan terhadap masalah oklusi dan gangguan perkembangan rahang, kelas sosial, dan keinginan orang tua
·      Kesadaran dari dokter gigi
2.   Riwayat
 Pada dasarnya dokter gigi harus dapat mengidentifikasi:
·      Alasan pasien datang ke dokter gigi
·      Siapa yang mengajukan tentang perawatan
·      Perilaku perawatan
A.     Riwayat Kesehatan
Kuesioner tentang kesehatan harus dilengkapi oleh setiap pasien atau orang tuanya, dan hasil temuannyadikonfirmasi lebih lanjut lewat wawancara di klinik. Beberapa kondisi kesehatan kemungkinan dapat memberikanpengaruh terhadap perawatan ortodontik.
B.     Riwayat Kesehatan Gigi
Kebiasaan, perluasan, dan frekuensi dari perawatan gigi sebelumnya dengan tingkat kerjasama pasien harus dicatat, bersamaan dengan perilaku kesehatan gigi pasien sehari-hari. Riwayat kehilangan gigi awal pada gigi susu serta trauma incisor juga perlu dicatat. Jika sebelumnya sudah pernah dilakukan perawatan ortodontik, detail yang berhubungan dengan pencabutan gigi dan tipe alatnya harus diperhatikan. Apabila perawatannya ditinggalkan, pasien harus ditanya secara hati-hati untuk alasannya. Untuk pasien anak, pertanyaan tentang perawatan ortodonsia pada saudara mereka dan kerjasamanya, mugkin dapat membantu menilai tingkat kesadaran keluarga tentang kesehatan gigi dan akan sangat mendukung apabila ditawarkan dilakukan perawatan. Disarankan juga untuk menanyakan riwayat tentang sendi TMJ termasuk nyeri, kelemahan otot maupun kesulitan membuka mulut dan riwayat apabila pasien menyadari memiliki kebiasaan bruxism.
C.    Riwayat Sosial
Jarak dari tempat keluarga tinggal dan estimasi waktu perjalanan pada saat melakukan perjanjian harus diperhatikan. Akses terhadap transportasi, akan mempermudah kesadaran orang dewasa untuk menemani pasien anak, bersamaan dengan informasi yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang mungkin dapat memengaruhi kehadiran juga penting.
3.   Pemeriksaan Klinis
Sebelum pasien anak duduk dikursi gigi sangat penting untuk menentukan umur pasien dilihat dari tingginya dan tingkat kedewasaannya secara umum. Hal ini juga dapat memberikan indikasi terhadap potensi tumbuh dimasa mendatang. Apabila pasien ditemani oleh orang tua, genetik oklusi keluarga juga penting untuk diperhatikan (misalnya diastema medial). Tujuan pemeriksaan tersebut adalah untuk mencatat dan mengengevaluasi aspek facial, oklusal dan fungsional dari pasien untuk melengkapi diagnosa. Pemeriksaan ekstraoral yang diikuti pemeriksaan intraoral harus dilakukan.
A.     PEMERIKSAAN  DALAM  MULUT (INTRA ORAL)
Pemeriksaan dalam rongga mulut meliputi aspek-aspek  yang sangat penting dan mempengaruhi hasil perawatan. Aspek-aspek tersebut adalah:
Þ     Keadaan gigi-geligi
Þ     Kelainan posisi gigi
Þ     Kebersihan mulut;
Þ     Gusi
Þ     Frenulum labial
Þ     Lidah;
Þ    Jaringan Lunak langit-langit (mukosa palatal)
Þ     Tonsil (amandel)
Þ     Garis tengah (median)
Þ    Jarak gigit vertikal
Þ    Jarak gigit horisontal
Þ    Gigitan silang
Þ    Celah antar gigi (diastema)
Þ    Kurva Spee
B.     PEMERIKSAAN  RADIOGRAFI  (FOTO  RONSEN)
Pemeriksaan foto ronsen yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan menggunakan foto ronsen panoramik. Kegunaan pemeriksaan foto ronsen panoramik adalah:
1.     Melihat hubungan antara gigi-gigi pada satu rahang dan hubungan gigi-gigi  rahang atas dengan rahang bawah.
2.   Melihat tahap perkembangan gigi tetap dan resorbsi akar gigi sulung. Informasi perkembangan gigi diperlukan untuk memberikan informasi mengenai perkembangan oklusi gigi dan waktu yang tepat untuk perawatan.
3.      Melihat ada tidaknya kelainan patologis.

Pemeriksaan panoramik sangat membantu untuk menilai apakah suatu prosedur dental diperlukan sebagai langkah awal sebelum melakukan perawatan ortodontik. Berbagai struktur abnormal dapat  ditemukan dalam pemeriksaan ini.

C.     ANALISA  SEFALOMETRI
Analisa sefalometri terbagi dalam pemeriksaan sefalometri lateral dan frontal. Adapun kegunaan pemeriksaan sefalometri adalah untuk:
–         Mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial
–         Mendiagnosa kelainan kraniofasial;
–         Mempelajari profil wajah;
–         Merencanakan perawatan ortodonti;
–         Evaluasi hasil perawatan ortodonti;
–         Merencanakan dan mengevaluasi hasil perawatan bedah ortognati;
–         Analisa fungsi sendi rahang; dan
–         Untuk tujuan penelitian.
D.     ANALISA   FOTOGRAFI
Fotografi profil (pandangan samping) dan frontal (pandangan depan) dilakukan untuk menganalisa hubungan antara jaringan keras di sekitar wajah dengan kontur jaringan lunak. Analisa profil  dapat menjadi bahanpertimbangan apakah pasien akan dilakukan prosedur pencabutan gigi atau tidak. Analisa frontal memberikan informasi wajah yang simetris atau tidak. Pada keadaan wajah yang tidak simetris, akan menjadi bahan pertimbangan apakah akan dikoreksi hanya secara ortodonti, atau perlu kombinasi dengan pembedahan. (Eka, 2012).
E.      ANALISA  MODEL  STUDI
Analisa model studi adalah penilaian tiga dimensi terhadap gigi geligi pada rahang atas maupun rahang bawah, serta penilaian terhadap hubungan oklusalnya. Kedudukan gigi pada rahang maupun hubungannya dengan  geligi pada  rahang lawan dinilai dalam  arah  sagital, transversal, dan vertikal (Rakosi dkk, 1993).
Menurut White (1996) model studi sebagai salah satu komponen penting dalam perawatan ortodonti dibuat dengan beberapa tujuan dan kegunaan, yaitu sebagai titik awal dimulainya perawatan, untuk  kepentingan presentasi, dan sebagai data tambahan untuk mendukung hasil pemeriksaan klinis. Para praktisi menggunakan model studi bukan hanya untuk merekam keadaan geligi  dan mulut pasien sebelum perawatan tetapi juga untuk menentukan adanya perbedaan ukuran, bentuk, dan kedudukan gigi geligi pada masing-masing rahang serta hubungan antar gigi geligi rahang atas dengan rahang bawah. Data yang lengkap mengenai keadaan tersebut lebih memungkinkan jika dilakukan analisa pada model studi.
F.      PERSIAPAN  ANALISA  MODEL  STUDI
Untuk keperluan diagnosa ortodonti, model studi harus dipersiapkan dengan baik dan  hasil cetakan harus akurat. Hasil cetakan tidak hanya meliputi seluruh gigi dan jaringan lunak  sekitarnya, daerah di vestibulum pun harus tercetak sedalam mungkin yang dapat diperoleh  dengan cara menambah ketinggian tepi sendok cetak hingga dapat mendorong jaringan lunak di daerah tersebut semaksimal mungkin, sehingga inklinasi mahkota dan akar terlihat. Jika hasil cetakan tidak cukup tinggi, maka hasil analisa tidak akurat. Model studi dengan basis 4 segi tujuh, yang dibuat dengan bantuan gigitan lilin dalam keadaan oklusi sentrik serta  diproses hingga mengkilat, akan memudahkan pada saat analisa dan menyenangkan untuk  dilihat pada saat menjelaskan kasus kepada pasien.(Proffit, 2000)
–  Macam-macam Analisa Model Studi
Analisa model studi secara umum dilakukan dalam tiga dimensi yaitu dalam arah sagital, transversal, dan vertikal. Penilaian dalam arah sagital antara lain meliputi: hubungan  molar pertama, kaninus, dan insisif tetap, yaitu maloklusi kelas I, kelas II, atau kelas III  Angle; ukuran overjet, prognati atau retrognati maksila maupun mandibula, dan  crossbite  anterior. Penilaian dalam arah transversal antara lain meliputi: pergeseran garis median, 5 asimetri wajah, asimetri lengkung gigi, dan crossbite posterior. Penilaian dalam arah vertikal antaralain meliputi: ukuran overbite, deepbite, openbite anterior maupun posterior, dan ketinggian palatum. (Rakosi dkk, 1993)
2.2    Pelaksanaan Diagnosa Ortodontik
Dalam diagnosa dan rencana perawatan, ortodontis harus:
1. Mengenali berbagai karakteristik maloklusi dan deformitas dentofasial
2.  Mendefinisikan sumber masalah, termasuk etiologinya jika memungkinkan
3. Merancang strategi perawatan berdasarkan kebutuhan yang spesifik dan  keinginan dari individu
Pada pelaksanaan diagnosa, tidak hanya berpusat pada area tertentu saja. Pendekatan problem-oriented untuk diagnosa dan rencana perawatan telah secara luas dianjurkan pada bidang kedokteran maupun kedokteran gigi dalam hal menilai kondisi pasien. Esensi dari pendekatan problem-oriented adalah perkembangan data yang komprehensif mengenai informasi yang didapat dari pasien. Untuk tujuan perawatan ortodontik, data tersebut dapat diperoleh dari tiga sumber utama:
1. Menanyakan pasien (anamnesis)
2. Pemeriksaan klinis terhadap pasien
3. Evaluasi dari rekam medis, termasuk gigi, radiograf, gambaran fasial   dan intraoral
Ø  Data ortodontik
a.    Data interview
a.   Chief complaint / Keluhan Utama
Setelah pasien membuat kunjungan pertama, kemudian keluhan utama muncul, baik dengan tujuan pasien mengenai mencari solusi masalah fungsional maupun estetika. Proses ini biasanya terdiri dari oral interview, walaupun kuisioner mungkin digunakan untuk memeriksa apa yang pasien rasakan tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan dengan baik. Kuisioner ini dapat membantu pasien untuk mengevaluasi dengan teliti mengenai pilihan estetika dan dapat menunjukkan dengan spesifik pada bagian yang dirasakan nyeri atau tidak nyaman.
b.   Medical history (termasuk dental history)
Untuk mendapat riwayat medis, ortodontis atau asisten harus selalu menanyakan beberapa pertanyaan penting, karena kebanyakan pasien tidak menyadari hubungan antara kesehatan secara umum dengan perkembangan terhadap dental. Hal penting yang harus diketahui meliputi saat terakhir berobat, pernah dirawat inap di rumah sakit atau tidak, dan obat-obatan apa saja yang pernah digunakan. Hal-hal lain yang lebih luas meliputi riwayat alergi, riwayat transfuse darah, dan masalah terhadap jantung atau demam reumatik.
Kesehatan dan kondisi dental pasien merupakan indikator yang baik dari kecurigaan terhadap penyakit periodontal maupun karies. Pertanyaan penting lain untuk ditanyakan adalah apakah pasien pernah memiliki trauma terhadap gigi. Perawatan ortodontik dapat memperburuk gejala periapikal yang telah ada (walaupun pada bagian tepi/marginal) yang dikarenakan trauma. Biasanya pergerakan gigi dikeluhkan jika masalah semakin buruk.
c.   Family history
Riwayat keluarga dapat dimulai dengan menanyakan apakah saudara pasien mengalami perawatan ortodontik dan diskusi mengenai sumber masalah mereka. Pertanyaan yang juga ditanyakan apakah orang tua pasien juga pernah mengalami perawatan ortodontik. Jika jawabannya ya, ortodontis perlu tahu alasan perawatan dari orang tua pasien tersebut.
d.   Social and behavioral history
Informasi mengenai riwayat ini lebih sulit untuk dicapai karena pasien sering enggan untuk bicara mengenai masalah emosional anak. Pertanyaan mengenai perkembangan semasa sekolah dapat membantu. Jika ortodontis mencurigai adanya masalah emosional karena menemukan perilaku seperti kebiasaan menghisap jempol yang lama, perkembangan yang buruk saat sekolah, berjalan saat tidur pada anak, ortodondontis harus menanyakan apakah keluarganya menerima konseling. Jika terdapat masalah utama, orang tua pasien kemudian biasanya akan bercerita mengenai perceraian, pasangannya yang sakit atau meninggal, atau masalah serius lainnya dalam rumah.
Pertanyaan mengenai perkembangan pada masa sekolah dapat mengungkapkan anak memiliki ketidakmampuan dalam belajar. Pada kasus seperti ini, ortodontis harus memodifikasi pendekatan terhadap anak karena pasien seperti ini mungkin memiliki pengurangan jangka waktu pemusatan perhatian dan oleh karena itu tidak seharusnya menerima  informasi yang terlalu detil pada saat konsultasi.
e.   Status pertumbuhan fisik
Selama evaluasi pasien, ortodontis harus memperhatikan perkembangan fisik secara umum dalam hubungannya terhadap pertumbuhan yang terjadi dan potensi pertumbuhan yang tersisa. Ortodontis yang berpengalaman tahu bahwa hasil klinis terbaik tercapai pada orang yang pertumbuhannya baik dan hasil yang terburuk tercapai pada orang yang pertumbuhannya buruk. Pertumbuhan dinilai dari jumlah, kecepatan, arah, dan pola pertumbuhan yang memfasilitasi perawatan.
b.   Pemeriksaan klinis dan rekaman diagnostic
Pemeriksaan klinis memiliki dua tujuan:
1.   Untuk mengevaluasi estetika, patologi jaringan keras dan lunak, fungsi rahang
2.   Menentukan apakah rekaman diagnostik diperlukan
Tujuan rekaman diagnostik adalah mendokumentasikan kondisi awal pasien dan untuk menambah informasi diagnostik yang didapat dari interview dan pemeriksaan klinis. Rekaman dapat dibagi menjadi:
                                    i.       Dental cast dan occlusal record
Dental cast untuk tujuan ortodontik dibedakan dari cara diambil untuk tujuan dental yang lain, dengan 2 cara:
–     Cetakan dilebihkan untuk membiarkan sebanyak mungkin prosesus alveolar dan gigi yang terlihat
–     Dental cast ditrim dengan dasar yang simetris untuk visualisasi yang lebih baik dari asimetri pada bentuk arkus atau posisi gigi
                                   ii.       Facial photograph
a.   Frontal
Pasien berada pada posisi kepala natural dan terlihat menghadap lurus terhadap kamera.
Tipe posisi yang dapat diambil:
–      Posisi istirahat
–      Gigi pada interkuspal maksimal, dengan bibir tertutup
b.   Frontal dinamis (tersenyum)
c.   Close up dengan pose tersenyum
d.   Three quarter view (450)
e.   Profil
f.    An optional submental view
                               iii.         Fotografi Intraoral: kanan dan kiri lateral, anterior, upper occlusal, lower occlusal.
                               iv.         Radiografi
–     Radiografi intraoral
–     Radiografi panoramik
–     Radiografi sefalometri
(Graber et al, 2000)
Pada saat identifikasi dan prioritas masalah ortodonti pasien,  dapat ditentukan  4  hal yang harus dihadapi dalam menentukan rencana perawatan yang optimal, yaitu :
1)      Waktu perawatan
2)      Tingkat kerumitan perawatan
3)      Perkiraankeberhasilan perawatan yang diperoleh, dan
4)      Memperhatikan tujuan dan keinginan pasien (orang tua pasien) yang dirawat ortodonti.
(Eka, 2012)
Brook dan Shaw (1989) memperkenalkan garis besar dari indeks prioritas perawatan ortodonti yang terdiri dari dua bagian, bagian pertama menilai dan memberikan skor bagi faktor2 oklusi dang gangguan kesehatan rongga mulut, bagian kedua memberikan skor untuk derajat gangguan estetik yang disebabkan karena malposisi gigi2 anterior
Tahap penilaian dan perencanaan perawatan ortodonti:
a)     Informasi latar belakang
b)    Penilaian variasi oklusal
c)     Penilaian faktor2 etiologi dan keterbatasan dari perawatan korektif
d)    Garis besar tujuan perawatan
e)     Rencana perawatan yang terprinci
Kriteria yang merupakan dasar realistik untuk menilai perlunya perawatan ortodonsi:
1.      Jika dirasakan perlu bagi subjek untuk mendapatkan posisi postural adaptasi dari mandibula
2.      Jika  ada gerak menutup translokasi dari mandibula dari posisi istirahat atau dari posisi postural adaptasi ke posisi interkuspal
3.      Jika posisi gigi sedemikian rupa sehingga terbentuk mekanisme refleksyang merugikan selama fungsi oklusal dari mandibula
4.      Jika gigi-gigi menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan lunak
5.      Jika gigi susunannya berjejal atau tidak teratur, yang bisa merupakan faktor predisposisi dari penyaki periodontal atau penyakit gigi
6.      Jika penampilan pribadi kurang baik akibat posisi gigi jika posisi gigi menghalangi posisi bicara normal
(Foster, 1997)
Untuk menetapkan diagnosa diperlukan pengumpulan data  yang cermat mengenai pasien tersebut serta dilakukan  seleksi kasus secara menyeluruh sehingga diperoleh daftar masalah ortodonti.
Dalam penetapan diagnosa dan rencana perawatan akan melalui proses yang sama, namun prosedur dan tujuannya berbeda.  Pengumpulan data dan penyusunan daftar masalah  untuk mendapatkan kebenaran yang bersifat ilmiah. Pada tahap ini hendaknya  tidak boleh memasukan pendapat atau keputusan pribadi, sebaliknya pada situasi tersebut diperlukan penilaian berdasarkan fakta. Di lain pihak rencana perawatan tujuannya tidak memiliki kebenaran secara ilmiah, tetapi merupakan kebijakan ortodontis. Rencana perawatan yang bijak yang dilakukan oleh ortodontis akan sangat menguntungkan pasien.Pemilihan perawatan yang tepat, tentu dapat terjadi jika diagnosanya tepat dan jika disadari bahwa rencana perawatan merupakan suatu proses interaktif dimana pasien dilibatkan dalam proses membuat keputusan.
Perawatan yang terbaik bagi pasien tidak lagi berdasarkan keputusan ortodontis sendiri, tetapi melibatkan pasien dan orang tuanya. Secara etika pasien berhak untuk mengontrol apa yang terjadi pada perawatan mereka. Keberhasilan dan kemungkinan kegagalan perawatan juga perlu dibicarakan dengan pasien, oleh karena itu perlu penandatanganan informed consent atau persetujuan perawatan. (Eka, 2012)
BAB III
KESIMPULAN
Dari apa yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1.   Diagnosa dibutuhkan sebagai dasar bagi dokter untuk melakukan tindakan. Dalam ortodonsia, diagnosa dibutuhkan untuk menentukan perawatan yang akan dilakukan terhadap pasien.
2.   Pemilihan perawatan yang tepat, tentu dapat terjadi jika diagnosanya tepat dan jika disadari bahwa rencana perawatan merupakan suatu proses interaktif dimana pasien dilibatkan dalam proses membuat keputusan
DAFTAR PUSTAKA
Eka, E. 2012.  Sekilas Ilmu Ortodonti (Keahlian merapikan gigi dan menserasikan bentuk wajah ). Spesialis Ortodonti Bagian Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin. http://www.orthodontic-eka.com/2012/02/sekilas-ilmu-ortodonti-keahlian.html diakses pada 7 Oktober 2012 pukul 20:00
Foster, T.D. 1997. Buku Ajar Ortodonsia. Jakarta: EGC.
Graber, Thomas M. and Robert L. Vanarsdall. 2000. Orthodontics: Current Principles and Technique, 3rd edition. St. Louis: Mosby Inc.
Heasman, P. 2003. Master in Dentinstry volume 2 : Restorative Dentistry, Paediatric Dentistry and Orthodontics. London : Churcill Livingstone.
Iman, Pinandi. 2008. Buku Ajar Ortodonsia II. Yogyakarta: Bagian Ortodonsia Fak. Kedokteran Gigi UGM.
Proffit, W.R., dkk. 2000. Contemporary Orthodontic, Edisi III.  St. Louis: Mosby Inc.
Rakosi, Thomas et al.1993. Orthodontic – Diagnosa. New York : George Theme Verlag. Page : 3-5
White, L.W. 1996. Modern Orthodontic Treatment Planning and Therapy, Edisi I. California:  Ormco Corporation.

Relasi dan Oklusi Maksila Mandibula

Pengertian Relasi dan Oklusi
Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada maksila dan mandibula, yang terjadi selama pergerakan mandibula dan berakhir dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena adanya interaksi antara dental system, skeletal system dan muscular system. Oklusi gigi geligi bukanlah merupakan keadaan yang statis selama mandibula bergerak, sehingga ada bermacam-macam bentuk oklusi, misalnya : sentrik, eksentrik, habitual, supra-infra, mesial distal, lingual. dsb. Dikenal dua macam istilah oklusi yaitu :
1.     Oklusi ideal adalah merupakan suatu konsep teoritis oklusi yang sukar atau bahkan tidak mungkin terdapat pada manusia.
2.     Oklusi normal adalah suatu hubungan yang dapat diterima oleh gigi geligi pada rahang sama dan rahang yang berlawanan, apabila gigi dikontakan dan kondilus berada dalam fosa glenoidea.
Selain itu istilah maloklusi, yaitu yang menyangkut hal-hal diluar oklusi normal. Pada oklusi normal masih memungkinkan adanya beberapa variasi dari oklusi ideal yang secara fungsi maupun estetik masih dapat diterima/memuaskan. Ada 2 tahap oklusi pada manusia :
1.     Perkembangan gigi geligi susu.
2.     Perkembangan gigi geligi permanen (rssm.iwarp.com).
Oklusi berasal dari kata occludere yang mempunyai arti mendekatkan dua permukaan yang berhadapan sampai kedua pemukaan tersebut saling kontak. Secara teoritis, oklusi didefinisikan sebagai kontak antara gigi-geligi yang saling berhadapan secara langsung (tanpa perantara) dalam suatu hubungan biologis yang dinamis antara semua komponen sistem stomato-gnatik terhadap permukaan gigi-geligi yang berkontak dalam keadaan berfungsi berkontak dalam keadaan berfungsi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa oklusi bukanlah merupakan suatu proses statik yang hanya dapat diketahui bila seseorang penutup mulut sampai gigi geliginya dalam keadaan kontak. Tetapi, kita harus pula memahami bahwa selain faktor gigi-geligi masih ada faktor lain yang ikut terlibat dalam proses tersebut. Beberapa ahli menyatakan bahwa oklusi dibentuk oleh suatu sistem struktur yang terintegrasi antara sistem otot-otot mastikasi dan sistem neuromuskuler sendi temporomadibular dan gigi-geligi (Hamzah, Zahseni; dkk).
Dari aspek sejarah perkembangannya, dikenal tiga konsep dasar oklusi yang sejauh ini diajarkan dalam pendidikan kedokteran gigi.
ü  Pertama, konsep oklusi seimbang (balanced occlusion) yang menyatakan suatu oklusi baik atau normal, bila hubungan antara kontak geligi bawah dan geligi atas memberikan tekanan yang seimbang pada kedua rahang, baik dalam kedudukan sentrik maupun eksentrik.
ü  Kedua, konsep oklusi morfologik (morphologic occlusion) yang penganutnya menilai baik-buruknya oklusi melalui hubungan antar geligi bawah dengan lawannya dirahang atas pada saat geligi tersebut berkontak.
ü  Ketiga, konsep oklusi dinamik/individual/fungsional (dinamic)/individual/functional occlusion). Oklusi yang baik atau normal harus dilihat dari segi keserasian antara komponen-komponen yang berperan dalam proses terjadinya kontak antar geligi tadi. Komponen-komponen ini antara lain ialah geligi dan jaringan ini antara lain ialah geligi dan jaringan penyangganya, otot-otot mastikasi dan sistem neuromuskularnya, serta sendi temporo mandibula. Bila semua struktur tersebut berada dalam keadaan sehat dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik, maka oklusi tersebut dikatakan normal (Gunadi, Haryanto A; dkk).

Posisi Oklusal Maksila Mandibula
Oklusi sentrik adalah posisi kontak maksimal dari gigi geligi pada waktu mandibula dalam keadaan sentrik, yaitu kedua kondisi berada dalam posisi bilateral simetris di dalam fossanya. Sentris atau tidaknya posisi mandibula ini sangat ditentukan oleh panduan yang diberikan oleh kontak antara gigi pada saat pertama berkontak. Keadaan ini akan mudah berubah bila terdapat gigi supra posisi ataupun overhanging restoration.
Kontak gigi geligi karena gerakan mandibula dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.     Intercupal Contact Position (ICP), adalah kontak maksimal antara gigi geligi dengan antagonisnya
2.     Retruded Contact Position (RCP), adalah kontak maksimal antara gigi geligi pada saat mandibula bergerak lebih ke posterior dari ICP, namun RB masih mampu bergerak secara terbatas ke lateral.
3.     Protrusif Contact Position (PCP) adalah kontak gigi geligi anterior pada saat RB digerakkan ke anterior
4.     Working Side Contact Position (WSCP) adalah kontak gigi geligi pada saat RB digerakkan ke lateral.
Selain klasifikasi diatas, secara umum pola oklusi akibat gerakan RB dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.     Bilateral balanced occlusion, bila gigi geligi posterior pada kerja dan sisi keseimbangan, keduanya dalam keadaan kontak
2.     Unilateral balanced occlusion, bila gigi geligi posterior pada sisi kerja kontak dan sisi keseimbangan tidak kontak
3.     Mutually protected occlusion, dijupai kontak ringan pada gigi geligi anterior, sedang pada gigi posterior
4.     Tidak dapat ditetapkan, bila tidak dikelompokkan dalamklasifikasi diatas. (Hamzah, Zahreni,dkk)
Oklusi memiliki 2 aspek. Aspek yang pertama adalah statis yang mengarah kepada bentuk, susunan, dan artikulasi gigi geligi pada dan antara lengkung gigi, dan hubungan antara gigi geligi dengan jaringan penyangga. Aspek yang kedua adalah dinamis yang mengarah kepada fungsi system stomatognatik ang terdiri dari gigi geligi, jaringan penyangga, sendi
Dikenal 2 macam istilah oklusi yaitu:
Oklusi Ideal
Merupakan konsep teoretis dari struktur oklusal dan hubungan fungsional yang mencakup prinsip dan karakteristik ideal yang harus dimiliki suatu keadaan oklusi. Menurut Kamus Kedokteran Gigi, oklusi ideal adalah keadaan beroklusinya semua gigi, kecuali insisivus central bawah dan molar tiga atas, beroklusi dengan dua gigi di lengkung antagonisnya dan didasarkan pada bentuk gigi yang tidak mengalami keausan. Syarat lain untuk mendapatkan oklusi ideal antara lain:
–       Bentuk korona gigi berkembang dengan normal dengan perbandingan yang tepat antara dimensi mesio-distal atau buko-lingual
–       Tulang, otot, jaringan disekitar gigi anatomis mempunyai perbandingan yang normal
–       Semua bagian yang membentuk gigi geligi geometris dan anatomis, satu dan secara bersama-sama memenuhi hubungan yang tertentu
–       Gigi geligi terhadap mandibula dan cranium mempunyai hubungan geometris dan anatomis yang tertentu
Karena gigi dapat mengalami atrisi akibat fungsi pengunyahan, maka bentuk gigi ideal jarang  dijumpai. Oklusi ini jarang ditemukan pada gigi geligi asli yang belum diperbaiki.
Oklusi Normal
Leory Johnson menggambarkan oklusi normal sebagai suatu kondisi oklusi yang berfungsi secara harmonis dengan proses metabolic untuk mempertahankan struktur penyangga gigi dan rahang berada dalam keadaan sehat. Oklusi dikatakan normal jika:
–       Susunan gigi di dalam lengkung gigi teratur dengan baik
–       Gigi dengan kontak proksimal
–       Hubungan seimbang antara gigi dan tulang rahang terhadap cranium dan muscular di sekitarnya
–       Kurva spee normal
–       Ketika gigi berada dalam kontak oklusal, terdapat maksimal interdigitasi dan minimal overbite dan overjet
–       Cusp mesio-bukal molar 1 maksila berada di groove mesio-bukal molar 1 mandibula dan cusp disto-bukal molar 1 maksila berada di embrasure antara molar 1 dan 2 mandibla dan seluruh jaringan periodontal secara harmonis dengan kepala dan wajah.

  Klasifikasi dari Oklusi Gigi Geligi

Klasifikasi berikut berdasarkan pada klasifikasi Edward Angle (1899) walaupun berbeda dalam beberapa aspek yang penting. Ini adalah klasifikasi dari hubungan antero-posterior lengkung gigi-gigi atas dan bawah, dan tidak melibatkan hubungan lateral serta vertikal, gigi berjejal dan malposisi lokal dari gigi-gigi.
1.     Kelas 1
Hubungan ideal yang bisa ditolerir. Ini adalah hubungan antero-posterior yang sedemikian rupa, dengan gigi-gigi berada pada posisi yang tepat di lengkung rahang, ujung gigi kaninus atas berada pada bidang vertikal yang sama seperti ujung distal gigi kaninus bawah. Gigi-gigi premolar atas berinterdigitasi dengan cara yang sama dengan gigi-gigi premolar bawah, dan tonjol antero-bukal dari molar pertama atas tetap beroklusi dengan alur (groove) bukal dari molar pertama bawah tetap. Jika insisivus berada pada inklinasi yang tepat, overjet inisisal adalah sebesar 3 mm.
2.     Kelas 2
Pada hubungan kelas 2, lengkung gigi bawah terletak lebih posterior daripada lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan kelas 1. Karena itulah, keadaan ini kadang disebut sebagai “hubungan postnormal”. Ada dua tipe hubungan kelas 2 yang umum dijumpai, dan karena itu, dikelompokkan menjadi dua divisi:
3.     Kelas 3
Pada hubungan kelas 3, lengkung gigi bawah terletak lebih anterior terhadap lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan kelas 1. Oleh karena itu, hubungan ini kadang-kadang disebut juga sebagai “hubungan prenormal”.

            Ada dua tipe utama dari hubungan kelas 3. Yang pertama, biasanya disebut kelas 3 sejati, dimana rahang bawah berpindah dari posisi istirahat ke oklusi kelas 3 pada saat penutupan normal. Pada tipe yang kedua, gigi-gigi insisivus terletak sedemikian rupa sehingga gerak menutup mandibula menyebabkan insisivus bawah berkontak dengan insisivus atas sebelum mencapai oklusi sentrik. Oleh karena itu, mandibula akan bergerak ke depan pada penutupan translokasi, menuju ke posisi interkuspal. Tipe hubungan semacam ini biasanya disebut kelas 3 postural atau kelas 3 dengan pergeseran.

Pada  masing-masing tipe hubungan oklusal, malposisi gigi setempat bisa mempengaruhi hubungan dasar dari kedua lengkung gigi. Jadi, rincian interkuspal dari gigi-gigi tidak sama dengan klasifikasi keseluruhan dari hubungan lengkung gigi. Jika banyak gigi yang malposisi, akan sulit bahkan tidak mungkin untuk menentukan klasifikasi oklusi. Disamping itu, asimetris bisa menyebabkan hubungan pada satu sisi rahang berbeda dari sisi yang lain. Pada situasi semacam ini, oklusi perlu dideskripsikan dengan kata-kata, bukan hanya dengan klasifikasi verbal saja.

Segitiga Sama Sisi Bonwill
Pada tahun 1899 untuk pertama kalinya, Bonwill menjelaskan bahwa pada orang dewasa laki-laki, umumnya jarak antara titik tengah dari gigi seri tengah mandibula dan pusat-pusat di mana lengan masing-masing sekitar 10,16 cm (empat inci) panjangnya. Itu disebut segitiga sama sisi Bonwill.
 Kurva Kompensasi Oklusal dan Gigi
Semua permukaan lengkung gigi sesuai dengan lekukan. Jika dilihat dari aspek oklusal, setiap lengkung gigi berbentuk huruf U. Tepi insisal dan ujung cusp bukal mengikuti garis melengkung di sekitar tepi luar dari lengkung gigi; ujung cusp lingual gigi posterior mengikuti garis melengkung hampir sejajar dengan ujung cusp bukal. Antara cusp bukal dan lingual adalah alur sulcular, yang berjalan anteroposterior seluruh panjang gigi posterior. Lengkung mandibula cekung, sementara  dan lengkung rahang atas cembung. Antara satu lengkungan dengan lengkungan dikompensasi oleh lengkungan lain, maka disebut kurva kompensasi.
Dalam pemuatan gigi tiruan, bidang oklusal merupakan pedoman yang penting dalam penyusun gigi posterior dengan tujuan agar mastikasi menjadi efisien.Karena adanya inklinasi sagital dari gigi-geligi posterior tersebut, maka bidang oklusal akan membentuk lengkung oklusal. Dari sisi lateral, penyusunan morfologis ini disebut kurva Spee atau disut juga kurva kompensasi dimulai dari kaninus hingga molar.
Secara fisiologis, terdapat kecenderungan alami bahwa kurva ini akan semakin dalam pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan RB ke arah bawah dan depan terkadang berlangsung lebih cepat dan lama daripada RA. Jadi, selama masa pertumbuhan , kedalaman kurva Spee masih akan berubah-ubah hingga kurva menjadi relative stabil pada dewasa muda.
Perubahan Kurva Spee secara patologis dapat menyebabkan berbagai hal. Perubahan ini terjadi pada beberapa situasi seperti adanya geligi yang rotasi, tipping maupun ekstrusi. Melakukan rotasi terhadap gigi yang sudah mengalami perubahan pada bidang oklusal dapat mengakibatkan terjadi gangguan gerak protrusive posterior. Gangguan tersebut selanjutnya akan memulai terjadinya aktivitas abnormal levator mandibula terutama otot masseter dan temporal yang selanjutnya dapat menyebabkan keausan, fraktur rotasi dan disfungsi TMJ.
Tiga dimensi lengkung kurva pada gigi manusia
1.     Kurva Spee (kurva anteroposterior dari bidang oklusal)
Graf Von Spee menggambarkan kelengkungan permukaan oklusal gigi dari ujung caninus mandibula yang berjalan posterior mengikuti cusp bukal gigi posterior mandibula. Kurva ini berada dalam bidang sagital saja. Efek dari Kurva Spee ditentukan dengan membandingkan bidang tiap gigi dalam kurva dengan jalur putaran condycle. Lebih menyimpang bidang tiap gigi dari arah jalur putaran condycle, semakin besar tinggi puncak. Lebih sejajar bidang tiap gigi dari jalur putaran condycle, semakin pendek tinggi puncak.
Kedalaman kurva Spee dan kurva kompensasi merupakan hal yang penting dalam prosedur perawatan. Kurva Spee dapat dijadikan referensi dalam merekonstruksi oklusal pada kasus kehilangan gigi posterior sebagian atau seluruhnya. Tujuan utama yang paling penting adalah dalam hal ini untuk mendapatkan stabilitas gigi tiruan. Perlu diperhatikan jika pada pasien yang telah mengalami penurunan dimensi vertical, maka pembuatan cusp gigi yang tajam dengan kurva yang datar adalah kontraindikasi karena dapat mengurangi freeway space. Pembuatan cups yang tajam, dalam, dan curam yang tidak mengikuti kurva spee dalam bentuk fisiologis yang sebelumnya mengakibatkan pengaruh traumatik pada jaringan penyangga sehingga jaringan periodontal dan tulang resopsi, dan kehilangan lebih lanjut pada gigi sisa.
2.     Kurva Wilson (kurva dari sisi ke sisi)
Kurva wilson adalah kurva imajiner, medio-lateral dalam arah pada setiap sisi lengkung berisi tips titik puncak pada gigi rahang bawah. dalam oklusi sentrik, gigi anterior rahang atas tumpang tindih dengan gigi rahang bawah sekitar 2 mm.
3.     Kurva Monson
Monson pada tahun 1920 menghubungkan kurva spee atau kelengkungan di bidang sagital dengan lekukan kompensasi terkait dalam bidang vertikal dan mengusulkan bahwa pada rata-rata pada orang dewasa bentuk lengkung mandibula sesuai sendiri ke suatu bagian dari lingkup 10,16 cm dengan jari-jari tengahnya di glabella tersebut. kurva Monson didasarkan pada teori bola oklusi. itu menunjukkan bahwa gigi mandibula bergerak di atas permukaan gigi rahang atas seperti pada permukaan lingkaran dengan diameter 20,32 cm (8 inci).
Sudut Inklinasi Gigi Individual
Inklinasi masing-masing gigi terhadap bidang oklusal berbeda-beda. Inklinasi masing-masing gigi meliputi inklinasi mesiodistal dan bukolingual atau bukopalatal.
Inklinasi gigi 1 :
–       Tepi incisal menempel bidang oklusi
–       Axis gigi dari sisi labial miring, membentuk sudut 5 derajat terhadap garis median
Inklinasi gigi 2
-Tepi incisal terletak 1-2 mm diatas bidang oklusal
– Axis gigi dari sisi labial lebih miring/membentuk sudut lebih dari 5 derajat dibanding gigi 1
 
 
 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Oklusi
Oklusi pada masing-masing individu tidaklah sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi oklusi gigi manusia antara lain:
·      Variasi genetik
·      Perkembangan gigi-geligi secara acak
·      Adanya gigi-gigi supernumerary
·      Otot-otot dan jaringan sekitar rongga mulut
·      Kebiasaan
·      Trauma
Kesimpulan
1.     Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada maksila dan mandibula.
2.     Oklusi terjadi karena adanya interaksi antara dental system, skeletal system dan muscular system.
3.     Kurva kompensasi adalah hubungan antara satu lengkungan pada rahang dengan lengkungan lain yang dikompensasi.
Daftar Pustaka
Chandra. 2004. Textbook of Dental and Oral Anatomy Physiology and Occlusion. New Delhi: Jaypee Brothers Publishers
Foster, T. D. 1997. Buku Ajar Ortodonsi, edisi ke 3. Jakarta: EGC. Hal 32-35.
Gros, Martin D; Mahtews, J.D. 1991. Oklusi Dalam Kedokteran Gigi Restoratif. Surabaya : Airlangga University Press.
Gunadi, Haryanto A; dkk. 1994. Buku Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan Jilid 2. Jakarta : Hipokrates.
Hamzah, Zahreni drg, dkk. 2009. Buku Petunjuk Praktikum Fisiologi Blog Stomatognatik. Jember: Unej
Hamzah, Zahreni; dkk. 2008. Petunjuk Praktikum Fisiologi Manusia. Jember : Bag. Biomedik Lab Fisiologi Manusia FKG Universitas Jember.
Soeyoto; Wiyono, Adi; Nindyo P. Aris. 2009. Gigi dan Mulut. http://rssm. Iwarp.com/konsultasi.html.
Thomson, Hamish. 2007. Oklusi Edisi 2. Jakarta: EGC

Aggressive periodontitis

Aggressive periodontitis dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Localized Aggressive Periodontitis (LAP)

2. Generalized Aggressive Periodontitis (GAP)

                                                                                                                        (Caranza, 2002).

Aggressive periodontitis adalah salah satu kelainan pada jaringan periodontal yang disertai dengan adanya bone loss secara progresif. Plak pada penderita aggressive periodontitis biasanya hanya ditemukan dengan jumlah yang tidak sebanding dengan kerusakan tulang alveolar yang terjadi secara agresif. Plak yang ditemukan pada penderita aggressive periodontitis di dominasi oleh bakteri  A. Actinomycetecomitans dan Porphyromonas gingivalis (Gray, 2000).

 

Penyakit aggressive periodontitis banyak ditemukan pada ras negroid jika dibandingkan dengan ras lainnya. Hal ini berhubungan dengan keberadaan IL-1β yang ditemukan lebih banyak pada orang-orang negroid seperti afrika. Keberadaan IL-1β dapat dijadikan sebagai marker diagnostik untuk penyakit aggressive periodontitis (Caranza, 2002).

 

Penyakit aggressive periodontitis juga merupakan suatu penyakit yang dapat diturunkan secara genetik, hal ini terkait dengan adanya autosomal resesive genetik atau X-Linked dominan (Caranza, 2002).

 

Lesi aggressive periodontitis aktif pada usia pubertas dan destruksinya akan menurus setelah melalui masa pubertas (Schulger, 1990). Pada usia pubertas umumnya selalu disertai dengan respon periodontal yang berlebihan terhadap iritasi lokal sehingga pada masa pubertas sangat mudah sekali terjadinya inflamasi , edema dan perbesaran gingiva. Kemampuan respon jaringan periodontal cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia. Berbagai penyakit periodontal akan sangat mudah terjadi pada masa pubertas, tetapi insidensi ini dapat dicegah dengan selalu menjaga kebersihan mulut (Caranza, 2002).

 

Localized Aggressive Periodontitis (LAP)

 

karakteristik lesi LAP ini biasanya terjadi sekara lokal. lesi lebih umum ditemukan pada daerah gigi M1, dengan usia pasien biasanya kurang dari 20 tahun. lokalisasi lesi yang hanya berada pada gigi M1 permanen berhubungan dengan adanya pembentukan kolonisasi bakteri setelah gigi M1 erupsi. Kolonisasi yang terbentuk terjadi karena inisiasi dari bakteri A. Actinomycetecomitas. adanya infeksi akibat inisiasi bakteri tersebut dapat memicu terjadinya pertahanan tubuh. hal yang terjadi adalah tubuh akan memproduksi Leukosit  PMN serta ihibitor lainnya. hal ini akan memicu terbentuknya antibodi opsonin yang berfungsi untuk menghambat penyebaran infeksi bakter dan menetralisirkan leukotoksisitas, sehingga kolonisasi pada regio sekitarnya dapat dicegah. selain itu lesi yang terlokalisir terjadi karena adanya bakteri yang bersifat antagonis terhadap A. Actinomycetemcomitan akan membantu dalam menghambat pembentukan koloni A. Actinomycetecomitan pada regio lain. kemudian hilangnya kemampuan A. Actinomycetecomitan dalam memproduksi leukotoksin juga berhubungan dengan adanya karakteristik lesi yang bersifat terlokalisir (Caranza, 2002).

 

LAP akan mulai terdiagnosis apabila dalam kondisi yang telah parah. dengan karakteristik keadaan lokal yang hanya terdapat sedikit akumulasi plak dan inflamasi hanya terjadi pada daerah yang terinfeksi. LAP baru akan terdeteksi apabila telah melibatkan kehilangan tulang alveolar yang banyak. sebagian besar dari penderita LAP mengalami kehilangan gigi , drifting , diastema yang disebabkan karena adanya peningkatan mobilisasi gigi,  sensitif terhadap rangsangan thermal, merasakan nyeri pada saat mastikasi, dan terjadinya iritasi yag bisa disebabkan akibat adanya food impaction. pada LAP dapat juga disetai dengan adanya abses periodontal dan adanya pembesaran limfe yang terdapat pada regio yang terinfeksi (Caranza, 2002).

 

LAP lebih sering terjadi pada remaja putri dan wanita muda jika dibandingkan dengan laki-laki. akumulasi plak yang terbentuk biasanya hanya sedikit dan tidak sebanding dengan kehilangan tulang alveolar. terapi yang digunakan pada penderita LAP adalah  mechanical debridement yang disertai dengan scalling dan root planning dengan pemberian antibiotik tetrasiklin secara sistemik. terapi bedah pada jaringan periodontal biasany ditujukan untuk mengurangi infeksi.

gambaran radiografi dengan menggunakan radiografi periapikal dan gambara klinis LAP

 

Generalized Aggressive Periodontitis (GAP)

 

GAP umumnya ditemukan pada pasien usia kurang dari 30 tahun. biasanya penderita GAP memiliki respon antibodi yang buruk terhadap petogen. secara klini GAP ditandai dengan general interproximal attachment loss yang terjadi sedikitnya melibatkan 3  gigi permanent . destruksi terjadi progresif dan menunjukan keadaan yang semakin parah. jumlah akumulasi plak pada penderita GAP tidak sebanding dengan jumlah kehilangan tulang alveolar. plak pada penderita GAP umumnya didominasi oleh bakteri A. Actinomycetecomitans, P. gingivalis dan Bacteroides forsythus. Respon jaringan bergantung terhadap tahap terjadinya lesi. lesi pada GAP biasany berwarna kemerahan akibat inflamasi , poket yang dalam, dan sedikit stippling. Pada beberapa pasien GAP ditemukan beberapa penyakit sistemik yang mungkin berperan dalam memperparah GAP seperti penurunan berat badan, depresi mental, dan malaise (Caranza, 2002).

 

Terapi yang sering digunakan untuk pasien penderita GAP adalah kontrol plak, scalling, dan root planning, disertai dengan pemberian antibiotik. terapi bedah yang digunakan ditujukan untuk memperbaiki kerusakan pada tulang alveolar dan untuk mengurangi kedalaman poket periodontal (Dorothy, 2007).

 

Gambaran klinis dan gambaran radiografi GAP dengan menggunakan foto rontgen OPG

 

Prosedur perawatan bedah jaringa  periodontal pada kasus GAP

 

 

 

REFERENSI

 

Carranza FA, Newman MG, Takei HH, Carranza FA, 2002. Clinical Periodontology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders.

Gray, J. 2000. Parameter on Aggressive Periodontitis. Journal of Periodontology, 71(5).

Schulger, S. 1990. Periodontal Deisease. USA: Lea & Febiger.

Dorothy. 2007. Periodontology For Dental Hygienist. St. Louis: Saunders

Roshna, T and Nandakumar, K. 2012. Case Report Generalized Aggressive Periodontitis and Its Treatment Options : Case Report and Review of the Literature. 

 

Aggressive periodontitis

Aggressive periodontitis dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Localized Aggressive Periodontitis (LAP)
2. Generalized Aggressive Periodontitis (GAP)
                                                                                                                      (Caranza, 2002).
Aggressive periodontitis adalah salah satu kelainan pada jaringan periodontal yang disertai dengan adanya bone loss secara progresif. Plak pada penderita aggressive periodontitis biasanya hanya ditemukan dengan jumlah yang tidak sebanding dengan kerusakan tulang alveolar yang terjadi secara agresif. Plak yang ditemukan pada penderita aggressive periodontitis di dominasi oleh bakteri  A. Actinomycetecomitans dan Porphyromonas gingivalis (Gray, 2000).
Penyakit aggressive periodontitis banyak ditemukan pada ras negroid jika dibandingkan dengan ras lainnya. Hal ini berhubungan dengan keberadaan IL-1β yang ditemukan lebih banyak pada orang-orang negroid seperti afrika. Keberadaan IL-1β dapat dijadikan sebagai marker diagnostik untuk penyakit aggressive periodontitis (Caranza, 2002).

Penyakit aggressive periodontitis juga merupakan suatu penyakit yang dapat diturunkan secara genetik, hal ini terkait dengan adanya autosomal resesive genetik atau X-Linked dominan (Caranza, 2002).

Lesi aggressive periodontitis aktif pada usia pubertas dan destruksinya akan menurus setelah melalui masa pubertas (Schulger, 1990). Pada usia pubertas umumnya selalu disertai dengan respon periodontal yang berlebihan terhadap iritasi lokal sehingga pada masa pubertas sangat mudah sekali terjadinya inflamasi , edema dan perbesaran gingiva. Kemampuan respon jaringan periodontal cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia. Berbagai penyakit periodontal akan sangat mudah terjadi pada masa pubertas, tetapi insidensi ini dapat dicegah dengan selalu menjaga kebersihan mulut (Caranza, 2002).
Localized Aggressive Periodontitis (LAP)
 
karakteristik lesi LAP ini biasanya terjadi sekara lokal. lesi lebih umum ditemukan pada daerah gigi M1, dengan usia pasien biasanya kurang dari 20 tahun. lokalisasi lesi yang hanya berada pada gigi M1 permanen berhubungan dengan adanya pembentukan kolonisasi bakteri setelah gigi M1 erupsi. Kolonisasi yang terbentuk terjadi karena inisiasi dari bakteri A. Actinomycetecomitas. adanya infeksi akibat inisiasi bakteri tersebut dapat memicu terjadinya pertahanan tubuh. hal yang terjadi adalah tubuh akan memproduksi Leukosit  PMN serta ihibitor lainnya. hal ini akan memicu terbentuknya antibodi opsonin yang berfungsi untuk menghambat penyebaran infeksi bakter dan menetralisirkan leukotoksisitas, sehingga kolonisasi pada regio sekitarnya dapat dicegah. selain itu lesi yang terlokalisir terjadi karena adanya bakteri yang bersifat antagonis terhadap A. Actinomycetemcomitan akan membantu dalam menghambat pembentukan koloni A. Actinomycetecomitan pada regio lain. kemudian hilangnya kemampuan A. Actinomycetecomitan dalam memproduksi leukotoksin juga berhubungan dengan adanya karakteristik lesi yang bersifat terlokalisir (Caranza, 2002).
LAP akan mulai terdiagnosis apabila dalam kondisi yang telah parah. dengan karakteristik keadaan lokal yang hanya terdapat sedikit akumulasi plak dan inflamasi hanya terjadi pada daerah yang terinfeksi. LAP baru akan terdeteksi apabila telah melibatkan kehilangan tulang alveolar yang banyak. sebagian besar dari penderita LAP mengalami kehilangan gigi , drifting , diastema yang disebabkan karena adanya peningkatan mobilisasi gigi,  sensitif terhadap rangsangan thermal, merasakan nyeri pada saat mastikasi, dan terjadinya iritasi yag bisa disebabkan akibat adanyafood impaction. pada LAP dapat juga disetai dengan adanya abses periodontal dan adanya pembesaran limfe yang terdapat pada regio yang terinfeksi (Caranza, 2002).
LAP lebih sering terjadi pada remaja putri dan wanita muda jika dibandingkan dengan laki-laki. akumulasi plak yang terbentuk biasanya hanya sedikit dan tidak sebanding dengan kehilangan tulang alveolar. terapi yang digunakan pada penderita LAP adalah  mechanical debridement yang disertai dengan scalling dan root planning dengan pemberian antibiotik tetrasiklin secara sistemik. terapi bedah pada jaringan periodontal biasany ditujukan untuk mengurangi infeksi.
gambaran radiografi dengan menggunakan radiografi periapikal dan gambara klinis LAP
Generalized Aggressive Periodontitis (GAP)
 
GAP umumnya ditemukan pada pasien usia kurang dari 30 tahun. biasanya penderita GAP memiliki respon antibodi yang buruk terhadap petogen. secara klini GAP ditandai dengan general interproximal attachment loss yang terjadi sedikitnya melibatkan 3  gigi permanent . destruksi terjadi progresif dan menunjukan keadaan yang semakin parah. jumlah akumulasi plak pada penderita GAP tidak sebanding dengan jumlah kehilangan tulang alveolar. plak pada penderita GAP umumnya didominasi oleh bakteri A. Actinomycetecomitans, P. gingivalis dan Bacteroides forsythus. Respon jaringan bergantung terhadap tahap terjadinya lesi. lesi pada GAP biasany berwarna kemerahan akibat inflamasi , poket yang dalam, dan sedikit stippling. Pada beberapa pasien GAP ditemukan beberapa penyakit sistemik yang mungkin berperan dalam memperparah GAP seperti penurunan berat badan, depresi mental, dan malaise (Caranza, 2002).
Terapi yang sering digunakan untuk pasien penderita GAP adalah kontrol plak, scalling, dan root planning, disertai dengan pemberian antibiotik. terapi bedah yang digunakan ditujukan untuk memperbaiki kerusakan pada tulang alveolar dan untuk mengurangi kedalaman poket periodontal (Dorothy, 2007).
Gambaran klinis dan gambaran radiografi GAP dengan menggunakan foto rontgen OPG
Prosedur perawatan bedah jaringa  periodontal pada kasus GAP
REFERENSI
 
Carranza FA, Newman MG, Takei HH, Carranza FA, 2002. Clinical Periodontology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders.
Gray, J. 2000. Parameter on Aggressive Periodontitis. Journal of Periodontology, 71(5).
Schulger, S. 1990. Periodontal Deisease. USA: Lea & Febiger.
Dorothy. 2007. Periodontology For Dental Hygienist. St. Louis: Saunders
Roshna, T and Nandakumar, K. 2012. Case Report Generalized Aggressive Periodontitis and Its Treatment Options : Case Report and Review of the Literature. 

Manifestasi rongga Mulut pada Pasien Penderita Diabetes Melitus Terkontrol dan Diabetes Melitus Tidak Terkontrol

 

Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya kelainan dalam metabolisme karbohidrat yang sangat erat kaitannya dengan kondisi kekurangan insulin. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh (Russoto 1981).  Juga dapat ditemukan beberapa manifestasi diabetes pada rongga mulut. selain perubahan pada kadar glukosa, diabetes mellitus juga berhubungan dengan perubahan patofisiologis yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit periodontal. Berdasarkan penelitian menunjukan bahwa pada pasien penderita penyakit diabetes yang tidak terkontrol memiliki insidensi infeksi fungal dan bakteri penyebab penyakit periodontal lebih besar. Penelitian lain menerangkan bahwa insidensi diabetes mellitus berhubungan dengan hiposalivasi atau xerostomia, burning mouth, hilangnya kemampuan mengecap, perbesaran glandula salivarius, candidiasis, lichen planus dan leukoplakia (Russoto, 1981., Albrecht et al, 1992).
Dalam penelitian yang dilakukan tanda dan gejala pada rongga mulut yang sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus baik yang terkontrol maupun yang tidak terkontrol adalah hiposalivasi, halitosis gingivitis, dan periodontitis. Penurunan kemampuan merasa , apthous stomatitis sering ditemukan pada rongga mulut pasien yang mengalami diabetes melitus yang tidk terkontrol. Sedangkan adanya sensasi mouth burning sering ditemukam pada pasien yang mengalami diabetes mellitus terkontrol. Pada pemeriksaan rongga mulut, lesi paling umum terlihat pada kedua kelompok adalah Candidiasis, diikuti oleh lesi proliferatif yang ditandai oleh hiperplasia  yang kemungkinan dapat menyebabkan neoplasia. Pada pasien yang mengalami diabetes mellitus tidak terkontrol, hiperplasi yang terjadi dapat mengarah pada neoplasia yang bersifat ganas.
Hiposalivasi merupakan gejala yang dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus terkontrol maupun tidak terkontrol. Terjadinya hiposalivasi pada pasien diabetes mellitus sangat berhubungan erat dengan kondisi polyuria yang dialami pasien dan berhubungan dengan adanya kelainan fungsi jaringan adipose pada glandula salivarus sehingga dapat menggaggu glandula salivarius dalam sekresi saliva. Sehingga kadar saliva dalam rongga mulut akan cenderung berkurang sehingga menyebabkan gejala mouth burning. Selain itu oemberian obat-obat diuretic behubungan dengan mouth burning.  Penurunan produksi saliva dalam rongga mulut berkolerasi dengan peningkatan jumlah jamur candida albicans dalam rongga mulut (Peter, 1970., Oslen, 1974).
Adanya peningkatan kadar glukosa dalam saliva akan cenderung mempermudah bakteri dan jamur untuk invasive kedalam epitel mukosa pada rongga mulut. Sehingga mengganggu pertahanan neutrofil  dan memfasilitasi pertumbuhan candida. Penyakit periodontal dapat mengakibatkan control metabolic buruk pada pasien diabetes mellitus.  Sehingga pemeriksaan rongga mulut secara rutin dan  perawatan jaringa periodontal sangat diperlukan oleh pasien yang mengalami diabetes mellitus (Shrimali, Astekar, Sowmya, 2011)
Referensi
Albrecht M, Banoczy J, Dinya E, Tamas IRG. Occurrence of Oral leukoplakia and lichen planus in diabetes mellitus. J oral Pathol Med 1992;21;364-6.
Oslen I. Denture stomatitis. Occurrence and distribution of fungi. Acta Odont Scand 1974;32;329-33.
Peters Rb, Bahn AR, Barens G. Candida albicans in the oral cavities of diabetics. J Debntal Res 1996;45;771-7.
Russoto SB. a symptomatic parotid gland enlargement in diabetes mellitus. Oral surg oral med oral pathol 1981;52;594-8.
Shrimali L, Astekar M, Sowmya GV. Research Article
Correlation of Oral Manifestations in Controlled and Uncontrolled Diabetes Mellitus. International Journl of Oral and Maxillofacial Pathology 2011;2(4):24-27.